22 June 2005

Berhaji ala Jamaah Inggris (2) - Mekah: tempat Islam dilahirkan

Bagian 2 :

Jedah Airport – Mekah

Jedah airport pagi itu sudah sangat sibuk. Terminal khusus haji yang menangani kedatangan kami sudah dipenuhi berbagai pesawat besar kecil dari berbagai penjuru dunia. Lega dan bangga hati ini melihat sebuah pesawat dengan logo Garuda Indonesia ikut parkir di apron airport tersebut.

Hari itu tanggal 26 Januari 2004 (4 Dzulhijjah 1424 Hijriah), 5 hari sebelum puncak ibadah Haji di padang Arafah. Kami dimasukkan ke dalam sebuah ruangan mirip aula dengan kursi fibreglass di sekelilingnya. Sambil melepaskan penat, dan menanti shalat Subuh, paspor kami mulai diperiksa satu demi satu oleh petugas yang mendatangi tempat kami duduk. Alhamdulillah, semua lancar tanpa masalah.

Ternyata ruangan itu hanyalah semacam ruangan transit per kelompok kedatangan pesawat. Tidak lama di sana, kami digeser ke bagian lain dari ruangan itu. Sekali lagi paspor kami diperiksa petugas. Ketika memasuki waktu shalat Subuh, kamipun shalat berjamaah dengan jamaah lainnya, yang kebetulan banyak berasal dari Mesir (karena kami naik Egypt Air dari Cairo).

Dari sana , kami dimasukkan ke ruangan lain di sebelahnya yang berisi bangku panjang berderet-deret. Sekali lagi paspor kami diperiksa oleh petugas yang mendatangi kami satu persatu. Ternyata petugas tersebut bertugas mempersiapkan dan memastikan kelengkapan dokumen kami, dan membagikan alokasi maktab (kantor urusan haji di Saudi) kami nantinya. Karena kami berangkat dari Inggris, maka kami dimasukkan sebagai jamaah di kelompok Muasassah Eropa dan Amerika.

Tidak lama di ruangan itu kami langsung dipanggil menuju counter imigrasi satu demi satu. Proses berjalan cepat, seluruh petugas kelihatannya siap melayani jamaah dengan baik. Namun yang terasa adalah ketatnya pemeriksaan seluruh dokumen. Setiap kali memasuki atau pindah ruangan, paspor kami selalu diperiksa satu demi satu.

Sebelum berangkat dari Inggris, kami diberitahukan oleh rekan jamaah yang berangkat Haji tahun lalu bahwa seluruh proses imigrasi ini perlu waktu yang lama karena petugasnya yang 'alon-alon asal kelakon' alias kadangkala bertindak semau mereka dalam melayani jamaah. Namun kesan ini sama sekali tidak terlihat dari pelayanan petugas di Bandara Jedah. Semua tampaknya berlangsung cepat, walaupun di sana-sini masih terlihat hal-hal yang seharusnya dapat ditingkatkan efisiensinya. Namun hal-hal ini patut dimaklumi karena mereka mengatur jutaan jamaah haji dari seluruh dunia dalam waktu yang sempit (lebih kurang 2 bulan).

Setelah keluar dari imigrasi, barang-barang bagasi sudah siap untuk diambil. Tas-tas kami dengan mudah dapat diidentifikasikan karena sudah diberi tanda berupa pita berwarna oranye. Kamipun langsung menuju pemeriksaan barang, yang di luar dugaan kami pula, sudah mempergunakan sistem 'jalur hijau' yang hanya memerlukan pemeriksaan barang melalui sinar X. Berdasarkan cerita rekan-rekan yang berangkat haji tahun lalu, pemeriksaan barang dilakukan secara langsung, dimana semua tas harus dibuka dan diperiksa dengan cara manual.

Barang-barang kami pun langsung diangkat oleh petugas porter pengantar barang, dan langsung dikelompokkan tersediri sesuai dengan tujuan jamaah kami (maktab 44 Eropa). Sekali lagi paspor kami dicek sebelum keluar dari tempat pemeriksaan barang tadi, kali ini untuk mengecek bank draft yang harus telah bayarkan sewaktu mengurus Visa di kedutaan besar Saudi di London. Bank Draft ini dipergunakan untuk transport standar jamaah haji dari Jedah ke Mekah, Mekah ke Madinah, dan Madinah ke Jedah, atau bisa juga menggunakan rute sebaliknya (tergantung tanggal kita datang ke Jedah). Bank draft ini juga termasuk biaya service lain-lain yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi.

Alhamdulillah , semua lancar sampai saat ini. Hanya satu hal yang masih mengganjal: Bagaimana status uang deposit bagi si kecil yang Visa-nya terlewatkan? Ternyata, si kecil dapat lolos masuk ke Saudi tanpa dikenakan denda. Uang jaminan pun langsung diberikan pada kami kembali. Alhamdulillah. Kalau kita mantap dan ikhlas niat untuk beribadah, Insya Allah semua masalah akan dapat teratasi.

Kami sudah siap, dan barang-barangpun sudah siap. Ingin kami segera pergi ke Mekah untuk melakukan ibadah kami. Perlu diketahui bahwa sebagian besar dari kami berniat melakukan Haji Tamattu, dimana kami melakukan Umrah terlebih dahulu baru disusul melakukan Haji. Empat orang diantara kami memilih melakukan Haji Ifrad, dimana mereka melakukan Haji terlebih dahulu, baru melakukan Umrah. Sebenarnya ada satu jenis lagi cara menjalankan haji, yaitu dengan cara Qiran, dimana jamaah haji melakukan haji dan umrah sekaligus.

Dari rombongan kami, ada beberapa orang yang sudah pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya. Bahkan pak Muchtar, ketua rombongan kami, sudah berkali-kali menunaikan ibadah haji dari Indonesia. Namun ternyata bagi beliau proses perjalanan kali ini adalah sesuatu yang baru. Biasanya, di airport Jedah sudah ada orang yang menjemput dan membantu mengatur transport kepergian ke Jedah. Jamaah haji ONH biasa dari Indonesia juga sudah diatur rapi lengkap dengan petugas yang mengibarkan bendera Indonesia tinggi-tinggi agar jamaah dapat dengan mudah berkumpul dan berkoordinasi. Rombongan kami kali ini tidak demikian. Ketika ditelepon, contact-person di Arab Saudi yang akan membantu mengatakan baru dapat menemui kami di kota Mekah nanti. Karena itu kami harus mencari tahu sendiri bagaimana agar kami dapat sampai ke lokasi penginapan kami di Mekah.

Ketua rombongan kami mulai mencoba mencari tahu bagaimana caranya agar rombongan bisa pergi ke Mekah secepatnya. Sementara itu, kami anggota rombongan beristirahat di kursi-kursi yang ada di terminal Haji Jedah. Rasa penat dan kantuk bergabung menjadi satu, dan kami semua pun tertidur kelelahan.

Pak Mukhtar kembali ke rombongan ketika matahari langit Saudi menghujam kulit di bawah pakaian ihram. Kami diharap bersiap untuk berangkat. Tunggu punya tunggu, tidak juga kami berangkat. Porter yang semula sudah siap membantu mendorong trolley bagasi bahkan sudah menghilang entah kemana.

Sampai hampir tengah hari, barulah kami memperoleh kepastian bahwa kami akan dapat naik bus yang disediakan pemerintah Saudi (bus Naqaba). Paspor kemudian diserahkan ke supir bus untuk disimpan di kantor maktab di Mekah. Sejak itu kami tidak pernah memegang paspor lagi sampai saat hendak check in lagi di Jedah airport untuk pulang ke Inggris.

Bus pun berjalan meninggalkan Jedah menuju Mekah. Kalimat talbiyah dikumandangkan jamaah dalam bus. Namun rasa letih dan kantuk membuat seruan talbiyah menghilang sedikit demi sedikit karena satu demi satu penumpang bus terlelap dalam tidur.

Ba'da Ashar kami pun memasuki kota Mekah. Gunung batu tampak mengepung kota Mekah. Subhanallah, terbayang di benak kami betapa beratnya kondisi di jaman Rasulullah Muhammad SAW, apalagi mungkin di jaman Nabi Ibrahim AS. Rasanya sulit membayangkan kehidupan di daerah yang sedemikian keras, jauh lebih keras dari tandusnya daerah asal orang tua saya di Gunung Kidul. Sepanjang mata memandang, terlihat pegunungan batu dengan tonjolan batu cadas menonjol di setiap tempat yang terlihat, dengan hanya sedikit pepohonan terlihat di antaranya.

Saat ini kota Mekah sudah terbangun megah, dengan jalan layang dan terowongan yang menembus gunung batu. Namun nampaknya tata kota tidaklah terpikirkan dengan baik oleh pemerintah Saudi. Hal ini tampak dari tumpang tindihnya hotel, apartemen dan penginapan lain di sekitar Masjidil Haram. Apalagi kalau dilihat sistem pengaturan lalu lintas di kota itu. Disiplin dan peraturan lalu lintas yang kami lihat di sana sangatlah jauh berbeda dengan apa yang biasa kami lihat di Inggris, dimana sebagian besar pengemudi sangat disiplin dan santun dalam mengemudikan kendaraannya.

Bus kami berhenti di sebuah kantor Maktab, dimana kami diberikan gelang identitas sebagai pengganti paspor kami selama di Mekah dan Madinah. Dari sana kamipun diantar ke penginapan kami di kawasan Aziziyah.

Kami tinggal di sebuah rumah milik seorang Indonesia keturunan Arab yang sudah 20 tahun bermukim di Mekah dan sudah menjadi warga negara Arab Saudi. Begitu datang, kami disambut dengan makanan Indonesia yang sangat menantang sedapnya! Setelah sekian lama 'berpuasa' dari makanan lezat selama di Inggris, mendapat sajian hidangan yang mantap luar biasa ini langsung menimbulkan semangat pada diri kami kembali.

Segera setelah itu, kamipun berangkat menuju Masjidil Haram untuk berumrah. Didampingi oleh 2 orang mutawwif (pembimbing ibadah) mahasiswa asal Indonesia yang bersekolah di Sudan, kami berangkat menyewa taksi yang banyak terdapat di kota Mekah. Jangan bayangkan taksi yang dimaksud di sini adalah taksi biru (atau kuning) yang banyak berseliweran di Jakarta, atau Black Cab yang menjadi ciri khas kota London . Taksi di kota Mekah kebanyakan adalah mobil-mobil pribadi yang dapat disewa untuk berpergian ke manapun dengan tarif yang harus ditawar sebelum kita bisa naik. Taksi resmi pun sebenarnya ada, namun biasanya harganya lebih mahal dan jumlahnya pun hanya sedikit.

Sampai di Masjidil Haram, adzan Maghrib sudah selesai dikumandangkan, bahkan shalat berjamaah sudah dimulai. Kamipun segera mencari lokasi untuk shalat, namun karena keterlambatan kami berangkat dari rumah, masjid sudah penuh bahkan sampai memenuhi seluruh pelataran di sekitar masjid. Dengan terpaksa kami shalat di jalan raya di samping masjidil Haram, dengan alas shalat seadanya. Beberapa orang dari kami terpaksa shalat dengan dahi langsung mencium aspal jalanan, tanpa alas apapun juga.

Lepas maghrib, kami masuk ke dalam Masjidil Haram untuk Tawaf. Tergetar hati kami begitu pertama melihat bangunan Ka'bah yang diselimuti kain hitam berhiaskan emas yang anggun. Doa pun dipanjatkan dengan bimbingan mutawwif kami.

Ternyata jumlah jamaah malam itu banyak sekali. Tempat tawaf di sekeliling Ka'bah dipenuhi lautan manusia yang bergerak perlahan bertawaf mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Setelah menimbang bahwa dalam rombongan kami terdapat beberapa anak kecil yang berisiko terdesak-desak kerumunan manusia, diputuskan untuk tawaf di lantai 2, dimana kondisi tidak terlalu sesak walaupun keseluruhan jarak tawafnya menjadi lebih jauh.

Tawaf dimulai dari garis yang berujung di Hajar Aswad, batu hitam yang berasal dari zaman Nabi Ibrahim AS. Di lantai 2 tempat kami tawaf, tempat mulai tawaf tadi juga ditandai dengan adanya lampu berwarna hijau dengan tulisan berbahasa Arab dan Inggris (Tawaf start here). Lambaian tangan ke arah Ka'bah disertai ucapan Bismillahi Allahu Akbar dikumandangkan orang ketika memulai tawaf dari garis tersebut.

Dengan sisi bahu kanan pakaian ihram kami dibuka sesuai sunah Nabi, kamipun bergerak perlahan mengitari Ka'bah dengan arah berlawanan dengan perputaran jarum jam, sehingga Ka'bah berada di sebelah kiri kami. Selayaknya jamaah laki-laki disarankan dapat berjalan lebih cepat pada tiga putaran awal tawaf tersebut. Namun, melihat kondisi padatnya saat itu, kami pun berjalan perlahan untuk menghindari mencelakakan diri kami sendiri dan orang lain.

Doa-doa pun dipanjatkan dengan dibimbing oleh mutawwif, walaupun kenyataannya sulit sekali mengikuti apa yang diucapkannya karena ramainya suasana. Tidak apa, dengan berbekal buku doa yang kami bawa, setiap orang berusaha membaca doanya masing-masing.

Saya dan istri membawa 2 jenis buku yang berupa catatan kecil yang diberi tali. Yang satu khusus dipesan untuk dibawakan dari Indonesia dengan teks berbahasa Indonesia. Atas saran seorang sahabat kami warga Mesir di Inggris, kami juga membeli buku 'Hajj Made Easy' terbitan Al Hidaayah Publishing Inggris, yang kami dapatkan lewat www.simplyislam.com, toko virtual di internet. Buku ini terbuat dari kertas agak tebal yang dilaminating sehingga tidak mudah robek, dan dibundel dengan ring besi besar dan kuat. Buku ini berisi hal-hal yang relatif dasar yang menurut kami lebih mudah dimengerti dan diikuti daripada buku terbitan Indonesia yang cukup njelimet.

Selama Tawaf, ternyata anak-anak dari rombongan kami merasa kecapekan, sehingga harus ditinggal di sisi rute tawaf, dan dijaga salah satu anggota rombongan kami. Namun demikian, Widuri, putri dari Mohammad Richard salah seorang muallaf anggota jamaah kami warga negara Australia terus digendong ayahnya mengelilingi Ka'bah walaupun sambil tertidur.

Setelah tujuh putaran Tawaf berhasil diselesaikan, kami shalat sunah Tawaf 2 rakaat di belakang Makam Ibrahim. Tidak tepat juga disebut persis 'di belakang' karena kami harus shalat di lantai 2 agak jauh dari Makam Ibrahim karena padatnya suasana.

Setelah itu kami pergi ke tempat air Zamzam. Seingat saya waktu pergi umrah pertama kali dulu di tahun 1997, ada ruangan sumur zamzam di lantai bawah dekat makam Ibrahim. Namun ternyata ruangan itu sudah ditutup dan sebagai gantinya air Zamzam disediakan secara berlimpah lewat kran-kran air di berbagai tempat di dalam dan di luar masjidil Haram.

Disertai doa dan rasa haru, kami teguklah air Zamzam itu dalam tiga kali nafas sesuai contoh Rasulullah SAW. Rasa segar dan kesejukan yang ditimbulkannya tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Subhanallah, inilah air yang sama dengan air yang didapatkan Siti Hajar saat mencari air minum untuk putranya Nabi Ismail AS yang kehausan.

Segera setelah itu kami pergi ke bukit Safa untuk memulai Sa'i. Sa'i adalah berjalan diantara bukit Safa dan bukit Marwah sebanyak tujuh kali, dimulai dari Safa dan berakhir di Marwah. Bukit Safa saat ini tidaklah lagi terlihat sebagai sebuah bukit secara fisik, namun sudah merupakan bagian dari masjidil Haram. Untuk menandakan bahwa tempat itu adalah bukit Safa, sebagian tempatnya sedikit ditinggikan dengan gundukan batu-batu.

Dengan tetap didampingi mutawwif, kamipun mulai bergerak menuju bukit Marwah di ujung lain dari Masjidil Haram bersama ratusan atau mungkin ribuan jamaah lainnya pada saat yang bersamaan. Di sepanjang rute antara Safa dan Marwah terdapat sebuah tempat yang ditandai dengan adanya dua buah lampu berwarna hijau. Di tempat itu kita disunahkan untuk berlari kecil mengikuti sejarah Siti Hajar saat mencari air untuk anaknya yang kehausan.

Setelah 7 kali berjalan antara Safa dan Marwah, selesailah Sa'i kami, lalu kamipun bertahalul dengan menggunakan gunting yang dibawa dari rumah. Tiga kali potongan rambut dilakukan dengan mantap, dan selesailah umrah kami. Bagi teman-teman yang melakukan haji Ifrad, mereka tidaklah melakukan Sa'i dan bertahalul dan mereka hanya melakukan Tawaf Qudum (Tawaf selamat datang). Dengan selesai kami bertahalul ini, kami lepas dari larangan ihram dan bebas mengenakan pakaian biasa sehari-hari. Sedangkan jamaah yang berhaji Ifrad, mereka harus tetap mengenakan pakaian ihram dan berada dalam kondisi ihram sampai selesai wukuf di Mina dan melontar jumrah di Mina.

Malam itu setibanya di penginapan kami disambut dengan makan malam ala Indonesia yang lezat luar biasa, setidaknya bagi lidah kami yang sudah sangat rindu cita rasa tanah air.

Sayangnya, rasa letih kami tidak bisa langsung disambut dengan kondisi peraduan yang baik. Rumah penginapan kami sepertinya tidak disiapkan dengan baik untuk menyambut kedatangan kami. Bau debu terasa mengambang di setiap kamar, toilet tidak sempat dibersihkan dahulu, bahkan rumah itu terkesan cukup kumuh. Bahkan, rombongan kami dikejutkan oleh kejadian yang cukup 'menakutkan' bagi kami yang sudah biasa tinggal di Inggris, yaitu terlihatnya beberapa ekor tikus bermain-main di kamar mandi dan di tempat kamar tidur jamaah wanita.

Spontan kami pun mengajukan protes kepada tuan rumah yang menyediakan penginapan kami selama di Mekah. Respons sang tuan rumah sangat baik, segera jamaah wanita kami dipindahkan ke ruangan lain di rumah pribadinya sendiri di samping penginapan kami. Malam itu sementara jamaah laki-laki tetap berada di penginapan pertama, tanpa sempat menghiraukan munculnya makhluk Allah yang cukup menjijikan bagi sebagian orang itu. Kami dijanjikan untuk dipindahkan ke ruangan lain di rumah pribadi sang tuan rumah demi kenyamanan kami beristirahat pada esok harinya.

Demikianlah pengalaman hari pertama kami di tanah suci Mekah, yang ditutup dengan tidur, jauh lepas dari tengah malam. Rasa letih, lega karena telah sampai di Mekah, serta sedikit kesal karena kejadian yang kami alami sebelum tidur, bercampur dalam mimpi kami masing-masing.

Esok pagi harinya, sebagian anggota rombongan kami berangkat shalat Tahajud dilanjutkan dengan shalat Subuh di Masjidil Haram. Saya sendiri termasuk yang tidak sanggup berangkat pagi itu karena masih terlelap tidur sampai masa menjelang terbitnya matahari.

Tahun ini, bulan Dzulhijjah dimana ibadah haji dilaksanakan, tanah Arab memasuki musim dingin. Hal ini terasa dengan mundurnya waktu terbit fajar, sehingga shalat Tahajud dapat dilaksanakan sampai sekitar pukul 5.30 pagi hari, saat adzan Subuh dikumandangkan. Di Mekah, suhu udara siang hari tidak terlalu berbeda dengan kondisi di tanah air, sedangkan di malam hari suhu terasa lebih sejuk, seperti berada di kawasan Puncak pada siang hari.

Hari itu, acara dilanjutkan dengan ziarah ke tempat bersejarah dan tempat-tempat penting lainnya yang berhubungan dengan agama Islam dan ibadah haji. Dengan menyewa sebuah kendaraan minibus berkapasitas 20 –an orang, perjalanan dimulai ke Jabal Tsur, dimana terletak sebuah gua yang pernah digunakan Rasulullah sebagai tempat bersembunyi sewaktu dikejar-kejar kaum kafir Mekah dalam perjalanan hijrah ke Madinah.

Kami lalu pergi ke padang Arafah, dimana setiap orang yang menjalankan ibadah haji harus berada di sana pada tanggal 9 Dzulhijjah untuk sah-nya ibadah mereka. Padang Arafah ditandai dengan papan besar berwarna kuning bertuliskan Arab dan Inggris "Arafat Starts Here" pada sisi-sisinya. Pada hari itu tenda-tenda di padang Arafah tengah dipersiapkan oleh pemerintah Saudi untuk menerima tamu-tamu Allah. Terlihat di sana-sini aktivitas pekerja mempersiapkan fasilitas toilet untuk buang air, mandi, serta wudhu. Terbayang tugas berat tapi mulia untuk mempersiapkan hal ini, yang notabene fasilitas tersebut hanya akan digunakan oleh jamaah haji tidak lebih dari 1 hari saja!

Padang Arafah juga sudah terlihat hijau berkat pohon-pohon yang ditanam di sana sebagai pelindung panas. Kalau tidak salah, penanaman pohon di padang Arafah adalah berkat saran dari bapak Suharto, mantan presiden RI. Padang Arafah juga terasa lebih sejuk berkat adanya semburan partikel air lewat pipa yang banyak menjulang tinggi di mana-mana. Hal ini sangat berguna untuk mengurangi besarnya tekanan panas akibat suhu dan teriknya matahari.

Di tengah padang Arafah terletak Jabal Rahmah, dimana Rasulullah berdiam di atas untanya sewaktu wukuf. Bukit itu sendiri juga dikabarkan sebagai tempat bertemunya Nabi Adam AS dan Siti Hawa, sewaktu keduanya diturunkan Allah SWT ke bumi dari surga.

Saya dan istri menyempatkan diri berfoto sambil menunggang unta yang dihias dengan bunga berwarna-warni seperti pelaminan bagi pengantin. Saat unta hendak berdiri, kami seakan digoncang keras oleh punggungnya yang tidak rata, sehingga kami nyaris terjatuh. Ternyata menunggang unta bukanlah sesuatu yang mudah!

Dari sana ziarah dilanjutkan ke Muzdalifah, tempat dimana kami akan mabit (berdiam) di sana selepas meninggalkan Arafah setelah matahari terbenam. Muzdalifah adalah tempat persinggahan Rasulullah dalam perjalanannya dari Arafah ke Mina. Muzdalifah saat ini hanya terlihat sebagai sebuah padang kosong, dengan tempat tempat parkir bus disiapkan berjajar dengan rapi, lengkap dengan toilet dan tempat minum di sepanjang tempat itu.

Lepas dari sana kami beranjak ke Mina, yang terletak hanya beberapa kilometer saja dari Muzdalifah. Di sana terletak tiga jumrah yang merupakan perlambang setan yang menggoda Nabi Ibrahim AS sewaktu beliau akan menyembelih putranya sebagai perwujudan ketaatannya pada Allah SWT. Saat ini ketiga jumrah tersebut dapat didekati melewati jalan bawah atau jalan atas berupa jalan layang untuk pejalan kaki yang khusus digunakan untuk melempar jumrah di hari-hari tasyrik (3 hari setelah Idul Fitri).

Ketiga jumrah tersebut terletak sejajar, dimulai dari jumrah Ula, jumrah Wustha, dan terakhir jumrah Aqabah. Jumrah Aqabah adalah jumrah yang terbesar dan terletak di pinggir kawasan Mina yang menuju kota Mekah. Ketiga jumrah itu berada di lembah yang dihimpit bukit terjal di sisi kanan dan kirinya.

Praktis tidak ada tanah yang dibiarkan kosong di Mina. Kecuali tempat yang memang dialokasikan sebagai jalan mobil dan manusia, semua lahan sudah diisi oleh tenda-tenda putih yang dibatasi oleh pagar-pagar besi sebagai pembatas antar Maktab. Semua tenda di Mina sudah dilengkapi dengan Desert Airconditioner, semacam AC yang khusus diproduksi sebagai penyejuk udara di suasana yang cukup ekstrim di padang pasir. Tenda-tenda itu pula konon sudah dibuat anti api, sebagai upaya mengurangi resiko menjalarnya api seperti yang terjadi pada musibah kebakaran besar beberapa tahun yang lalu di Mina. Semua jamaah juga tidak diijinkan untuk memasak sendiri di dalam tenda. Sebagai gantinya, setiap maktab memberikan pelayanan berupa makanan bagi setiap jamaah yang terdaftar dalam maktab tersebut.

Dari Mina, kami beralih ke Jabal Nur, tempat dimana terletak gua Hira, dimana Muhammad ketika itu menerima wahyu pertama dari Allah. Gua Hira ternyata terletak tinggi sekali di gunung tersebut. Terbayang dalam hati betapa sulitnya naik ke atas sana, apalagi dalam kondisi lebih dari 14 abad yang lalu dimana belum ada listrik, senter, atau petromaks yang dapat menerangi jalan kita menuju gua itu di waktu malam. Kami memutuskan untuk tidak mencoba naik ke bukit itu karena pasti hanya akan sangat melelahkan, dan mengunjungi gua Hira bukanlah hal yang disunatkan apalagi diwajibkan dalam menjalankan ibadah Haji.

Demikianlah ziarah kami hari itu. Puas hati kami mengunjungi tempat-tempat di mana Nabi Muhammad SAW, Nabi Ibrahim AS, dan Nabi Adam AS pernah berada. Lega rasanya karena selama ini kita selalu ingin melihat keindahan kota-kota besar dunia seperti Parliament House di London, Harbour Bridge di Sydney, menara Eiffel di Paris, atau Golden Bridge in San Fransisco, tapi melupakan tempat bersejarah dalam agama Islam seperti tempat-tempat yang baru kami kunjungi ini. Alhamdulillah, kami masih diberi kesempatan Allah untuk melihatnya selama hayat masih dikandung badan.

Hari itu kemudian kami habiskan di Masjidil Haram untuk Tawaf, shalat wajib dan salat sunah, mengaji serta berdoa sebanyak-banyaknya. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa shalat di Masjidil Haram pahalanya seratus ribu kali lebih besar daripada shalat di masjid lain. Berdzikir dan melantunkan ayat-ayat Al Quran di Masjidil Haram sungguhlah menenteramkan serta memberikan keteduhan dalam hati. Apalagi bila kita melihat saudara-saudara kita sesama muslim juga saling berlomba-lomba memperbanyak ibadah di sana.

Allahu Akbar , rasa haru menyelimuti kalbu kala melihat ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang mengikuti dalam hati bacaan Imam ketika shalat berjamaah, sama-sama ruku' dan sujud, serentak mengikuti komando Imam shalat. Dengan tidak mengenal bangsa dan warna kulit, umur, kaya dan miskin, semua larut dalam pujian pada Allah disertai doa kepadanya. Saudara kita kaum muslim dari Pakistan, Afghanistan, India, dan Bangladesh bercampur dengan kaum muslim dari Aljazair, Maroko, Libya, dan Mesir. Tampak disana-sini saudara kita muslimin yang berkulit putih dari Eropa dan Amerika, dan bahkan dari daratan Cina dan Taiwan. Jamaah yang paling mudah dikenali oleh kami adalah jamaah dari Turki dan Indonesia. Jamaah Turki selalu tampak bergerombol dan mengenakan pakaian seragamnya yang khas berwarna coklat muda, sedangkan jamaah Indonesia yang secara umum berbadan relatif kecil tentu sangat mudah diidentifikasi dari paras mukanya.

Demikianlah, waktu menunggu sebelum berangkat ke Mina dan Arafah, kami manfaatkan sedapat mungkin untuk beribadah di Masjidil Haram. Biasanya kami berangkat pada dini hari untuk shalat Tahajud dan Witir, dilanjutkan dengan shalat sunat Fajar dan shalat Subuh. Kami pulang ke rumah setelah shalat Dhuha untuk sarapan dan bersih-bersih. Setelah itu kami berangkat lagi ke Masjidil Haram setelah makan siang, sampai setelah Isya.

Hal yang unik di Mekah adalah cara kita mencapai Masjidil Haram dari tempat penginapan. Kebanyakan jamaah berusaha mencari penginapan terdekat dengan Masjidil Haram. Bagi mereka yang mampu, bisa menggunakan hotel Hilton yang terletak persis di samping masjid. Beberapa kelompok jamaah haji ONH plus dari Indonesia menggunakan hotel ini sebagai penginapan mereka selama di Mekah. Beberapa hotel berbintang lima lainnya juga tersedia di Mekah seperti hotel Sheraton dan hotel Daarut Tawhid yang juga hanya sepelemparan batu dari masjidil haram. Jamaah yang berkantong lebih tipis dapat memilih penginapan yang sedikit lebih jauh dari Masjidil Haram, dengan konsekuensi harus lebih lama berjalan kaki atau naik kendaraan umum untuk pergi ke masjid.

Kami sendiri tinggal kawasan Aziziyah Somaliyah sekitar 10 km dari Masjidil Haram. Tempatnya ditandai dengan adanya sebuah masjid bernama masjid Faqiha, yang banyak digunakan oleh jamaah haji asal Turki. Sebenarnya ada bus pemerintah Saudi yang rutin berjalan dari kawasan itu menuju Masjidil Haram, namun frekuensinya sangat jarang sehingga kami selalu menggunakan jasa taksi untuk pergi ke sana. Ongkos taksi bervariasi menurut waktu, kondisi mobil, dan kemampuan kita menawar. Semua teknik menawar kami gunakan, dengan menggunakan bahasa apapun yang bisa dimengerti oleh pengemudi taksi. Ada beberapa sopir taksi yang tahu bahasa Inggris, bahkan ada pula yang tahu angka-angka bahasa Indonesia. Namun sebagian besar hanya tahu bahasa Arab, sehingga kamipun mau tidak mau harus berlatih menggunakannya. Lima riyal adalah angka yang paling banyak disebutkan. Khamsa real (5 riyal) adalah satuan yang paling umum disebutkan untuk banyak jenis jasa (seperti ongkos taksi per orang) dan barang dagangan (seperti sandal jepit, atau makanan).

Rumor yang banyak beredar sebelum kami berangkat adalah bahwa jangan sekali-sekali wanita pergi sendirian naik taksi di Arab Saudi. Atau bahkan jika pergi bersama muhrimnya, sang wanita harus naik mobil setelah muhrim laki-lakinya naik dulu ke mobil. Wanita juga harus turun lebih dulu sebelum si laki-laki. Ketakutan ini disebabkan adanya isu yang menyebutkan bahwa banyak kejadian wanita yang naik taksi sendirian 'dilarikan' oleh sang pengemudi taksi. Walaupun kami melihat hal itu rasanya tidak mungkin terjadi, tetap saja kami selalu menjalankan saran tersebut demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.


Bersambung ke bagian 3.