23 May 2004

Tiga Masalah dalam Penolakan Pencalonan Gus Dur

Akhirnya, KPU memutuskan untuk tidak meloloskan pasangan KH Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) dan Marwah Daud Ibrahim. Pasangan ini tidak lulus karena berdasarkan formulir BB4 yang berisi tentang hasil penilaian tim khusus mengenai kemampuan jasmani dan rohani, KH Abdurrahman Wahid dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Hasil ini mungkin tidak terlalu mengejutkan. Banyak pihak, mungkin termasuk kubu PKB dan Gus Dur sendiri, sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Gus Dur tidak bisa maju menuju pemilihan umum Presiden yang akan datang.

Lepas dari hal spesifik apa dari kriteria jasmani atau rohani Abdurrahman Wahid yang dinyatakan tidak lolos dalam penilaian ini, penolakan pencalonan pasangan Abdurrahman Wahid – Marwah Daud Ibrahim ini nampaknya menjadi preseden yang tidak terlalu baik.

Walaupun (karena faktor kerahasiaan medis) alasan teknis penolakan ini tidak dikemukakan, kemungkinan besar Gus Dur tidak lolos karena keterbatasan fungsi pandangannya, dan mungkin pula sejarah kondisi kesehatannya yang pernah diwarnai dengan serangan stroke berat yang sudah umum diketahui publik. Aneh memang, karena walaupun dengan kondisi keterbatasan yang relatif sama, Gus Dur dulu bisa duduk menjadi Presiden, sedangkan sekarang untuk maju ke pemilihan saja tidak bisa.

 

#########

 

Ada tiga masalah yang berhubungan dengan kasus ini.

Pertama adalah isi UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, khususnya pada Bab II  pasal 6 tentang syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden. Pada pasal ini dicantumkan berbagai persyaratan calon Presiden, yang isinya merupakan kompromi politik dari pergulatan perdebatan dan lobby antar anggota DPR. Dari beberapa informasi, diketahui bahwa dalam perdebatan di DPR sewaktu penyusunan UU ini. Kompromi terjadi dengan misalnya diturunkannya usulan bahwa syarat Presiden adalah harus mempunyai pendidikan minimal setingkat S1 menjadi SLTA saja, tidak pernah dihukum karena tindak pidana dengan ancaman penjara minimal 5 tahun, dan lain-lain. Hasilnya, banyak hal-hal sumir yang menjadi isi UU tersebut.

Ayat-ayat pada pasal 6 UU ini terlihat ambivalen dengan adanya beberapa butir yang bersifat abstrak dan filosofikal (seperti ‘bertakwa pada Tuhan yang Maha Esa’, ‘tidak pernah mengkhianati negara’ dan ‘setia pada Pancasila’), namun ada pula yang bersifat sangat teknis (seperti ‘terdaftar sebagai pemilih’ dan ‘memiliki NPWP’).

Ada pula hal-hal kecil yang rasanya tidak terlalu penting untuk sampai dimasukkan ke dalam sebuah UU. Misalnya saja kriteria ‘memiliki daftar riwayat hidup’ yang dimasukkan sebagai salah satu syarat untuk maju menjadi calon presiden.

Masalah kedua adalah munculnya distorsi pada penerjemahan sebagian isi pasal 6 tersebut yang dilakukan oleh KPU. Dalam ayat 4 pasal tersebut, hanya disebutkan bahwa calon ‘mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden’. KPU menterjemahkan syarat tersebut dengan menunjuk Tim Penilai Kemampuan Rohani dan Jasmani pasangan calon presiden dan wakil presiden (SK KPU Nomor 37 Tahun 2004), yang dalam hal ini dilakukan oleh tim IDI dengan beranggotakan 64 dokter spesialis pada berbagai bidang.

Penerjemahan inilah yang menjadi masalah. Seharusnya, penetapan ini dilakukan oleh pihak legislatif yang memang berwenang menetapkannya. KPU seharusnya hanya berperan sebagai pelaksana pemilihan umum saja, yang bertugas menjalankan isi UU tanpa mencoba menginterpretasinya secara sepihak. Jika ada sesuatu yang belum diatur, hendaknya KPU tidak memutuskan sendiri penerjemahannya. KPU selayaknya menanyakan pada institusi legislasi pembuat UU yaitu DPR. Dengan adanya tim penilai ini, sebenarnya KPU melakukan hal yang tidak merupakan haknya, yaitu membuat legislasi. Dengan kata lain KPU telah mengambil alih hak legislasi dari institusi yang sebenarnya berhak menjalankannya (DPR).

Memang dalam pasal 96 ayat 1 UU 23 tersebut disebutkan bahwa keputusan KPU merupakan pengaturan pelaksanaan undang-undang yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu. Hal ini menimbulkan interpretasi bahwa KPU boleh menjabarkan kriteria umum tadi menjadi kriteria khusus seperti dengan menunjuk tim penilai kemampuan rohani dan jasmani calon Presiden tadi.

Penunjukan tim penilai ini sendiri dapat dipermasalahkan. Tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memang dapat dianggap mampu memberikan rekomendasi penilaian kemampuan jasmani dan kejiwaan calon presiden kita secara obyektif dan profesional. Namun demikian, dalam UU itu tertulis bahwa yang dinilai adalah kemampuan ROHANI sang calon. Saya kira pengertian rohani di sini tidak sama dengan dengan bidang keilmuan dokter spesialis kedokteran jiwa (psikiatri) yang masuk menjadi anggota tim IDI itu sendiri.

KPU juga tidak konsisten dalam menginterpretasi UU No 23 tersebut. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan KPU menunjuk tim khusus untuk menilai syarat mampu secara jasmani dan rohani, tapi tidak membuat tim yang sejenis untuk kriteria lain. Untuk kriteria ‘bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’ (pasal 6 ayat 1), ‘tidak pernah mengkhianati negara‘ (ayat 3), dan ‘tidak pernah melakukan perbuatan tercela’ (ayat 10), semua penilaian diserahkan pada setiap calon bersangkutan dalam bentuk sebuah surat pernyataan. Dengan kata lain, penilaiannya diserahkan pada orang yang bersangkutan sendiri, tanpa melibatkan pihak lain.

Masalah ketiga, semua proses ini akan menjadi preseden bahwa sebuah lembaga penyelenggara seperti KPU dapat menggagalkan proses pencalonan seorang presiden karena kriteria-kriteria tertentu. Gus Dur tidak lolos karena kriteria jasmani dan rohani. Implikasi dari keputusan ini adalah bahwa calon-calon lain di masa depan yang menderita keterbatasan fisik juga tidak akan mungkin dapat dipilih menjadi calon presiden. Adalah sangat mungkin di masa depan akan timbul pula kriteria-kriteria lain yang dapat menghambat kita memperoleh calon presiden terbaik bagi bangsa Indonesia.

Ketiga masalah ini menjadi blunder yang harus kita tanggung bersama. Semuanya merupakan hal yang sudah terlanjur terjadi dan tercatat dalam sejarah bangsa kita. Sama hal-nya dengan blunder Gus Dur sewaktu mengeluarkan dekrit pembubaran Parlemen pada tahun 2001.

 

######

 

KPU mungkin tidak salah. Mereka hanya mencoba menjalankan tugasnya dengan baik. Tim IDI, sebagai pelaksana pemeriksaan juga tidak salah. Dengan keahlian, ilmu, dan profesionalismenya, mereka mengemban amanat KPU untuk memeriksa kondisi jasmani dan rohani para calon.

Para anggota DPR yang menyusun UU tersebut juga mungkin tidak salah, karena anggotanya juga merupakan perpanjangan tangan partai masing-masing, yang mempunyai aneka ragam agenda dan tujuan partai.

Gus Dur menyatakan akan menuntut KPU atas kegagalannya untuk maju ke pemilihan Presiden. Itu adalah hak beliau dan mungkin memang harus dijalankan untuk membuktikan benar salahnya ketiga hipotesa permasalahan yang disebutkan di atas. Apapun hasilnya, Gus Dur hendaknya tetap berbesar hati dan terus bergerak dalam koridor membangun demokrasi Indonesia. Biarlah semua ini menjadi menjadi bagian dari proses pembelajaran dan pendewasaan demokrasi Indonesia.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

I have been looking for sites like this for a long time. Thank you! » » »

8:50 am  

Post a Comment

<< Home