05 May 2004

Pemberantasan Tuberculosis Paru di Indonesia

Oleh: Dono Widiatmoko


Tahukah anda jika Frederic Chopin (komposer musik), Alexander Graham Bell (pencipta telepon), dan juga Florence Nightingale (pahlawan kemanusiaan) pernah menderita Tuberculosis (Tb) dalam hidupnya? Mereka adalah sebagian orang terkenal di dunia yang kebetulan pernah menderita penyakit yang umumnya menyerang paru-paru manusia ini.

Tuberculosis adalah suatu penyakit ‘kuno’ yang sudah diderita oleh manusia sejak zaman Hippocrates, dan bahkan ditemukan petunjuk bahwa penyakit ini sudah ada sejak jaman dinasti Firaun di Mesir. Nama Tuberculosis sendiri dimunculkan oleh seorang ahli pengobatan (dokter) dari Belanda bernama Franciscus Sylvius pada abad 17, yang menamakan temuannya dari hasil autopsi mayat penderita penyakit paru-paru dengan istilah ‘tubercles’.

Penyakit Tuberculosis masih menjadi masalah yang besar di sebagian besar negara eropa sampai pada antara abad ke 17-19. Semenjak itu, walaupun pengobatan penyakit Tb belumlah ditemukan dengan pasti, angka kejadian Tb menurun secara perlahan sesuai dengan perkembangan status ekonomi dan higiene negara-negara eropa. Sayangnya, pada sebagian besar negara lain (termasuk Indonesia), pencatatan penyakit dan penyebab kematian belumlah umum dilakukan sebelum abad ke 20, sehingga perkembangan penyakit Tb tidaklah dapat diikuti dengan baik.

Dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern, Robert Koch berhasil mengisolasi bakteri penyebab penyakit Tb (Mycobacterium Tuberculosis) dan menyampaikannya pada Berlin Phthisiological Society di tahun 1882 sehingga terbukalah informasi tentang penyebab penyakit ini. Sebelumnya, banyak ilmuwan yang juga menyampaikan kontribusinya pada ilmu pengetahuan tentang penyakit Tb, diantaranya adalah Girolamo Fracastoro, Jean-Antoinne Villemin, dan juga Louis Pasteur. Patut dicatat juga peran

Penemuan sinar X oleh Roëntgen pada tahun 1895 mempermudah deteksi penyakit Tb secara dini dan akurat. Deteksi dini infeksi M. Tuberculosis pada manusia juga dapat dilakukan dengan menggunakan tuberculin skin test, yang dikembangkan oleh Mantoux pada tahun 1810.

Pada tahun 1921, Calmette dan Guerin kemudian mengembangkan vaksinasi BCG, yang walaupun tidak dapat mencegah infeksi, namun dipercaya dapat menurunkan resiko terjadinya perkembangan penyakit Tb secara extrapulmonary, yaitu misalnya pada jaringan selaput otak. BCG juga terbukti dapat menurunkan angka kematian akibat Tb pada anak-anak.

Ada berbagai metode yang dikenal dalam penyembuhan penyakit Tb. Sebelum ditemukannya chemoteraphy pada tahun 1950-an, penyembuhan penyakit Tuberculosis dilakukan dengan cara bed-rest serta mengisolasi penderitanya rumah sakit khusus penderita paru (sanatorium). Udara segar dan bersih merupakan upaya alami yang dapat membantu penyembuhan penyakit Tb. Ada pula metode penyembuhan lainnya berupa tindakan invasif dengan cara mengambil jaringan paru yang sudah terlanjur rusak akibat Tb dari tubuh penderita.

Pengobatan modern penyakit Tb dimulai dengan ditemukannya Streptomycin pada tahun 1944. Kemudian dikembangan pula Para Aminosalicyclic Acid (PAS) dan juga Isoniazid pada 1952. Dari hasil uji klinis ditemukan fakta bahwa obat-obat tersebut memang efektif terhadap M. tuberculosis, namun jika salah satu obat tersebut diberikan secara individual (tidak secara bersama obat Tb lain) resistensi kuman Tb pada obat sangat mungkin terjadi. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa pengobatan Tb akan sama derajat keefektifannya bila pengobatan diberikan dua atau tiga kali seminggu (tidak setiap hari), sehingga pasien tidak perlu mendapatkan perawatan di rumah sakit (outpatient).

Langkah besar dalam penanganan penderita Tb adalah ditemukannya Rifampicin, suatu senyawa hasil semi-sintesis, dimana senyawa ini jika dikombinasikan dengan Isoniazid dapat memperpendek waktu pengobatan menjadi 9 bulan saja (short-course treatment). Pengobatan ini bahkan bisa diperpendek lagi menjadi 6 bulan dengan menggunakan senyawa Pyrazinamide, yang walaupun sudah ditemukan sejak tahun 1950-an, belumlah digunakan secara luas karena efek sampingnya yang cukup besar pada hati manusia. Namun demikian, dengan menurunkan dosis dan memperpendek jangka waktu pengobatan, Pyrazinamide kemudian digunakan pada program penanggulangan penderita Tb.

Perkembangan pengetahuan dan obat-obatan dalam pengobatan tersebut mampu menurunkan kejadian Tb secara signifikan. Jika pengobatan terhadap seorang penderita berhasil, berarti orang tersebut tidak lagi dapat menyebarkan penyakitnya pada orang lain. Dengan kata lain, rantai infeksi dapat diputus, yang pada gilirannya akan menurunkan angka kejadian penyakit Tb.

Sejak itu, perkembangan penyakit Tuberculosis dapat ditekan menjadi sangat minimal di negara-negara maju. Perlu ditekankan bahwa kesuksesan dalam menurunkan angka kejadian Tb di negara-negara maju ini juga disebabkan oleh membaiknya derajat hidup secara keseluruhan, dimana standar gizi, kebersihan, perumahan, dan lain-lain meningkat secara pesat.

Bagaimana dengan di Indonesia? Sejarah penanggulangan penyakit Tb dapat kita lihat dengan adanya beberapa sanatorium dan klinik khusus Tb hasil peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang masih dapat kita jumpai di beberapa tempat di Indonesia. Indonesia juga pernah mendapat bantuan besar dari pemerintah Rusia berupa pembangunan Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta yang menjadi pusat rujukan penyakit paru di Indonesia.

Jika kita cari publikasi ilmiah yang ada di jurnal internasional di Medline (database artikel jurnal internasional yang tersedia secara online di National Library of Medicine, USA), dapat ditemukan beberapa artikel tentang Tuberculosis di Indonesia yang dimuat pada tahun 1960-an. Selain itu, ada juga beberapa artikel dalam jurnal-jurnal berbahasa Belanda yang bahkan diterbitkan beberapa lama sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa upaya penanggulangan dan penelitian tentang Tb sudah lama dimulai negara kita.

Saat ini, penanggulangan masalah Tb di Indonesia dikoordinasikan langsung oleh menteri kesehatan, dan bahkan sudah dilancarkan Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberculosis (GERDUNAS TB) yang berupaya mengintensifkan upaya penanggulangan Tb secara sistemik dan terpadu. Directly Observed Treatment Short-course (DOTS), yang merupakan standar World Health Organization (WHO) bagi pengobatan Tuberculosis, sudah diterapkan secara resmi di Indonesia. Pemerintah bahkan telah menyediakan obat-obatan yang tersedia gratis bagi pengobatan penyakit Tuberculosis. Masyarakat yang tergolong paling tidak mampu bahkan bisa mendapat ‘Kartu Sehat’ yang memungkinkan mereka mendapatkan pelayanan (bukan hanya obat) secara gratis.

Di sisi provider, setiap Puskesmas telah dipersiapkan untuk dapat mendeteksi penyakit Tuberculosis secara laboratoris. Sistem rujukan laboratorium untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan Puskesmas juga telah dibangun. Ditambah lagi dengan sistem surveillance penyakit menular yang juga telah dibuat dengan melibatkan teknologi canggih.

Namun demikian, sampai saat ini Tb ternyata masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia. Menurut angka resmi yang dikeluarkan oleh WHO dalam Global Tuberculosis Control 2004, jumlah penderita Tuberculosis aktif di Indonesia saat ini mencapai hampir 590.000 orang. Diperkirakan, setiap tahun ada sekitar 128.000 orang meninggal dunia akibat Tb di Indonesia. Kita bahkan menempati peringkat 3 sebagai negara dengan masalah Tb terbesar di dunia, yang hanya kalah dari India dan RRC.

Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa angka penemuan penderita Tb masih sangat rendah di Indonesia. Hanya sekitar 30 persen dari seluruh penderita TB aktif yang terdeteksi dan mendapat pelayanan kesehatan di institusi kesehatan. Dapat dibayangkan, berapa banyak penderita Tb yang tidak terdeteksi dan kemungkinan besar akan terus menularkan penyakitnya pada keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Masih tingginya angka insidens dan prevalens penyakit Tb di Indonesia menunjukkan tanda tanya besar. Apa ada yang salah pada upaya kita ini? Mungkin kita perlu meluangkan waktu untuk melirik sedikit banyak masalah yang terjadi di lapangan.

Desentralisasi sektor pemerintahan yang sejak beberapa tahun ini dilaksanakan di Indonesia menambah runyam masalah. Perlu diketahui bahwa operasional Puskesmas seluruhnya dikendalikan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) tingkat II di daerah. Sejak desentralisasi, kedudukan Dinkes tidak lagi berada di bawah kendali langsung departemen kesehatan, melainkan berada di bawah bupati kepala daerah tingkat II atau walikota dari kotamadya. Perubahan struktur ini mengakibatkan Dinkes agak sedikit ‘malas’ mengirimkan laporan dan berkoordinasi dengan pihak provinsi dan pusat.

Desentralisasi juga mengalihkan sepenuhnya wewenang penggunaan keuangan negara pada pemerintah di kabupaten/kotamadya. Ini berarti bahwa kompetisi untuk mendapatkan anggaran untuk masing-masing sektor pemerintahan turun dari level pusat ke level daerah. Bagi sebagian daerah, jumlah anggaran yang berasal dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat jumlahnya dari jauh mencukupi untuk memenuhi kebutuhan rutin dan kebutuhan program masing-masing sektor. Pendapatan dari sumber lokal dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga seringkali tidak memadai. Karena itulah program kesehatan di sebagian daerah menjadi agak terlantar. Walaupun demikian, masih ada beberapa ‘jalur khusus’ yang telah digunakan untuk menjembatani gap antara pusat dan daerah, dan juga antara daerah kaya dengan miskin.

Kualitas program yang ada juga dipertanyakan banyak pihak. Misalnya saja program DOTS yang dari namanya saja (Directly Observed Treatment Short-course) menuntut adanya observasi langsung pada proses konsumsi obat pasien Tb. Kita mesti jujur pada diri sendiri, apa kenyataannya hal ini berjalan dengan baik? Bagaimana kenyataan pelaksanaan kebijakan Pengawas Minum Obat (PMO)? Kita sampai saat ini masih sangat bersandar pada kesadaran pribadi pasien Tb untuk meminum obat, dan datang kembali kembali ke institusi pelayanan kesehatan untuk mengambil obatnya kembali.

Berbagai penyimpangan dan ketidakefisienan program juga diisukan terjadi. Misalnya saja pernah diberitakan bahwa obat Kombipak (obat gratis dari pemerintah) dijual secara umum di pasar Pramuka. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Obat gratis kok bisa dijual?

Hal-hal diatas masih dalam tataran kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Sebagian kalangan dan berbagai institusi kesehatan swasta melakukan upaya pelayanan kesehatan sendiri, yang didalamnya termasuk juga pelayanan pada penderita Tb. Sayangnya, sebagian besar dari mereka masih berjalan sendiri-sendiri dan tidak dikoordinasikan dengan baik oleh pemerintah. Misalnya saja, berapa banyak dokter praktek swasta yang melaporkan dan berkoordinasi dengan pemerintah dalam penanggulangan Tb? Saya yakin jumlahnya sangat kecil bahkan mungkin tidak ada.

Peran Gerdunas Tb juga selama ini juga terasa minimal. Ada banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu yang bergabung di dalamnya. Tapi apa sih kontribusinya selama ini? Idealnya, Gerdunas berfungsi sebagai motor penggerak gerakan penanggulangan Tb secara terpadu (sesuai namanya), yaitu dengan mengajak berbagai komponen bangsa dalam menanggulangi Tb. Sekali lagi, apa benar ini sudah dijalankan?

Pertanyaannya lalu adalah, apa yang kita harus perbuat untuk mengatasi masalah Tuberculosis di Indonesia?

Memang kendala utama adalah biaya. Tapi ini semua tentunya tidak harus menjadi halangan untuk terus berusaha. Saat ini gerakan pemberantasan Tb sedang ‘naik daun’ di dunia internasional, sehingga kemungkinan mendapatkan suntikan bantuan dari pihak asing cukup besar. Namun demikian, hanya mengharap uluran sedekah dari luar negeri tidaklah cukup. Kita harus bersama-sama menyingsingkan lengan baju, memerah otak, menyatukan pendapat, sama-sama berjuang membantu saudara-saudara kita yang terkena Tuberculosis. Kita harus manfaatkan para tenaga ahli kita dan segenap fasilitas dan sumber daya yang kita punyai dengan cara seefisien mungkin untuk mengatasi hantu Tuberculosis.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home