Tim Dokter IDI dan Calon Presiden Kita
Tulisan Handrawan Nadesul dan Kartono Mohamad (Kompas, 24/04/04)secara gamblang menjelaskan peran tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam proses pemilihan calon presiden, khususnya dalam seleksi kesehatan calon presiden mendatang. Mereka meyakinkan kita semua bahwa PB IDI akan bersifat netral dan dan obyektif dalam penilaiannya terhadap kriteria sehat seorang presiden.
Delapan puluh lima dokter spesialis pilihan akan bahu membahu memeriksa seluruh aspek kesehatan para calon presiden, dibantu dengan kriteria medis yang detail dan jelas dalam menentukan apakah sang calon presiden mampu menjalankan tugasnya sebagai presiden kelak.
Pada akhirnya nanti tim IDI tersebut akan memutuskan apakah seorang calon mempunyai disabilitas atau tidak, yang akan menentukan boleh tidaknya sang calon dipilih dalam pemilu mendatang.
Proses ini menempatkan IDI yang merupakan representasi profesi dokter dalam pertaruhan yang berat. Disamping mereka harus melakukan pekerjaan mereka secara profesional dan berdasar hati nurani, mereka juga menanggung beban politik walaupun secara tidak langsung.
Posisi dokter memang unik, karena posisi seorang sebagai pasien (atau calon presiden dalam hal ini) tidak berada pada tataran yang sama dengan seorang dokter. Dokter selalu berada dalam posisi yang ‘lebih’ dari pasiennya. Secara teoritis, terjadi information asymmetry dalam hubungan dokter dengan pasien. Seorang pasien tidak mempunyai informasi yang sebanding dengan sang dokter, bahkan terhadap kondisi kesehatannya sendiri. Pasien umumnya hanya bisa percaya pada apa yang dikatakan seorang dokter.
Information Asymmetry ini kadangkala dituduhkan sebagai penyebab terjadinya banyak kasus malpraktek, supply-induce-demand, ketidakpuasan konsumen (pasien), dan lain-lain. Ketidaksetaraan ini bertambah dalam dengan kewajiban dokter menjaga kerahasiaan medis pasiennya.
Empat tahun yang lalu (Maret-April 2001), empat orang dokter spesialis secara terbuka menyatakan Presiden (ketika itu) Abdurrahman Wahid tidak layak memimpin negara. Pernyataan ini didasarkan oleh hasil observasi tidak langsung mereka dari media massa dan lain sebagainya. Ketika itu, Professor Wimpie Pangkahila (Guru Besar Universitas Udayana, Bali) menyatakan bahwa tindakan mereka itu bisa dibenarkan dan tidak menyalahi sumpah dokter, karena hanya didasarkan pada pengetahuan yang telah umum diketahui publik, dan bukan hasil laporan kasus langsung dari seorang pasien (Kompas, 12/04/01).
Jika sampai tim IDI nanti memutuskan bahwa seseorang (atau beberapa) calon Presiden tidak layak untuk maju ke pemilu presiden karena alasan kesehatan, tentu semua rakyat Indonesia berhak tahu apa alasannya. Mereka tidak akan puas dengan jawaban bahwa si ‘A’ tidak lolos pemeriksaan kesehatan yang dilakukan tim IDI. Sisi mana dari kesehatan sang calon yang tidak lolos kriteria?
Menjawab hal ini tentu saja akan menimbulkan dilema bagi Tim IDI, karena mereka harus memegang teguh rahasia medis (karena bersumber dari laporan kasus seorang ‘pasien’) dan dilain pihak tuntutan masyarakat umum tersebut juga valid adanya.
Saya yakin tim IDI akan menjunjung tinggi sumpah dokter, dimana seorang dokter harus merahasiakan segala sesuatu yang ia ketahui karena pekerjaan dan pengetahuannya, sehingga tidak bisa menyampaikan detail hasil pemeriksaan tersebut pada orang lain (dalam hal ini publik). Tinggal kita harus puas pada pernyataan bahwa sang calon ‘lulus’ atau ‘tidak lulus’, tanpa mendapat alasannya secara mendetil. Kita harus menyandarkan diri pada profesionalitas dan hati nurani para anggota tim tersebut.
Sayangnya, hati nurani dan profesionalitas dokter sangat sulit untuk diukur. Hati nurani seorang dokter hanya bisa dinilai oleh Tuhan. Profesionalitas dokter pun sulit untuk diukur.
Profesionalisme ini memang sesuatu yang sulit untuk diukur. Lebih mudah bagi kita untuk melihat dampak profesionalitas tersebut daripada mengukur kadar profesionalisme seorang dokter.
Banyak kita lihat kasus di Indonesia yang menimbulkan pertanyaan tentang standar profesionalitas dokter. Standar tentang diagnosa suatu penyakit dan standar pengobatannya kadangkala dipertanyakan publik. Misalnya, tentang wabah demam berdarah yang belum lama ini menggila di Indonesia dan kasus artis Sukma Ayu yang saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat.
Pada musibah wabah demam berdarah yang lalu timbul banyak pertanyaan dan keluhan masyarakat tentang keakuratan diagnosa para dokter tentang penyakit yang harusnya sudah sangat biasa tersebut. Pada kasus artis Sukma Ayu, ketidakpuasan muncul atas dugaan malpraktek dokter yang merawatnya. Lepas dari benar tidaknya kasus tersebut, kasus-kasus seperti ini banyak terjadi dan menjadi perhatian luas. Hasilnya, sudah sejak lama kita lihat ‘pelarian’ pasien Indonesia ke negara-negara tetangga (Singapura, Malaysia, Australia), bahkan ke tempat-tempat yang jauh seperti Jepang, Amerika, Belanda, dan Jerman untuk mencari pengobatan yang lebih mumpuni. Sudah bukan rahasia lagi kalau banyak pejabat, politisi, dan orang berada Indonesia yang pergi ke luar negeri untuk berobat, atau bahkan sekedar ‘general check up’.
Saya kira fasilitas medis yang kita punyai tidaklah kurang, lihat saja banyaknya fasilitas medis canggih yang under utilised di Indonesia. Besarnya minat berobat ke luar negeri adalah lebih karena dipertanyakannya profesionalitas para dokter kita.
Saya bekerja di lingkungan yang terkait erat dengan profesi medis. Sebagai manusia saya juga sangat menghargai profesi mulia seorang dokter. Tidak sama sekali saya mempertanyakan keputusan hati nurani seorang dokter. Tim dokter IDI juga saya yakin sangat menjunjung tinggi nurani dan profesionalitas mereka. Namun, penilaian hati nurani seluruh rakyat Indonesia saya kira jauh lebih berharga dari penilaian ke 85 anggota tim tersebut.
IDI hanya berupaya menjalankan tugas profesinya dengan baik. Namun sebaik apapun mereka mengerjakan tugasnya, kontroversi tentang kriteria sehat dan cara seleksi kesehatan calon presiden kita tidak akan hilang. Ini semua terjadi karena adanya ‘kecacatan moral’ sebagian politikus kita yang menghalalkan segala cara dalam rangka menjegal orang tertentu untuk maju ke pemilihan presiden.
Saya juga bukanlah pendukung salah calon seorang presiden. Saya mendukung SEMUA calon presiden, tidak peduli dengan status disability mereka. Saya hanya risau jika pemimpin kita nanti disabled (cacat) moralnya.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home