24 September 2005

The Phantom of the Opera: Ada Hantu Buruk Rupa di Paris Opera House

Malam itu, ulang tahun ke-8 perkawinan kami, akan dirayakan dengan menikmati opera musikal Phantom of the Opera di kota London. Tepat seminggu sebelumnya, saya sudah memesan tiket lewat lewat internet seharga 35 pounds per orangnya. Bukan nilai yang murah apalagi jika disetarakan dengan nilai rupiah yang saat itu nilainya lebih dari Rp. 18,000 per poundsterling. Tapi janji yang diucapkan sepuluh tahun yang lalu pada calon istri untuk menikmati Phantom of the Opera di panggung aslinya sudah hampir kadaluarsa. Mumpung kami sedang berada di Inggris, janji ini tepat waktunya untuk dipenuhi.

Kami tiba di stasiun King's Cross London sekitar pukul setengah enam sore dari kota kecil Sandy tempat kami tinggal sementara ini. Masih sekitar dua jam dari waktu pertunjukan dimulai. Jadilah waktu luang itu kami manfaatkan untuk makan angin di Leicester Square pusat hiburan kota London serta mencari ganjalan perut agar tidak kelaparan saat menikmati pertunjukkan malam nanti.

London di akhir musim panas itu sangatlah ramai dikunjungi wisatawan, baik dari manca negara maupun dari pelosok negeri Inggris sendiri. Teror bom yang menimpa bulan Juli lalu tidak menyurutkan langkah penikmat kota London mencari hiburan di tengah kota ini. Ke-empat bom yang meledak tanggal 7 Juli dan rangkaian percobaan pemboman dua minggu berikutnya terjadi di sekitar zona pusat kota London. Namun malam itu, tidak tampak ada kerisauan dan rasa takut pada raut muka orang yang kami jumpai. Semua wajah berbagai bangsa terlihat ceria, tanpa rasa takut terpancar dari raut muka.

Sambil berjalan-jalan, telinga kami disinggahi oleh banyak jenis bahasa dari celoteh dan percakapan orang yang berjalan beriringan atau berpapasan dengan kami. Dari bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Spanyol, Melayu, Itali, Hindi, Urdu, Belanda sampai bahasa Arab menghampiri telinga kami tanpa disengaja. Ya, kota London banyak dihuni dan disinggahi manusia berbagai bangsa. Hasil sensus penduduk kota London menunjukkan bahwa tanpa turis saja, kota London sudah menjadi pusat berkumpulnya manusia dari berbagai ras dan asal negara. Apalagi jika ditambah dengan ribuan turis asing dan lokal yang datang berkunjung setiap hari. London adalah kota yang benar-benar metropolis multi rasial.

Sambil menikmati ayam goreng halal yang dijual di sudut Leicester Square , kami menikmati suasana sore di taman depan bioskop-bioskop terkenal yang ada di sana. Odeon, UCI Empire, dan Vue adalah bioskop yang berdiri megah dengan film-film terbaru yang diputar di dalamnya. Di sinilah biasanya dilakukan pemutaran perdana film-film box office, lengkap dengan hamparan karpet merah, dihadiri oleh bintang-bintang film ternama berpakaian mencolok diserbu gerombolan wartawan TV dan media cetak yang mengacungkan microphone dan lensa kamera mereka.

Pukul tujuh malam, pergilah kami melangkahkan kaki ke gedung Her Majesty's Theatre di kawasan Haymarket, yang letaknya sepelemparan batu dari Piccadilly Circus underground station. Kami siap menyambangi sang Phantom, si Hantu yang pandai bernyanyi.

Phantom of the Opera adalah judul pertunjukan yang akan kami nikmati malam ini. Lakonnya diadaptasi dari novel berjudul asli Le Fantome de l'Opera hasil karya pengarang Perancis bernama Gaston Leroux yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1910. Walau Gaston Leroux lebih dikenal sebagai penulis novel detektif, cerita ini adalah sebuah cerita cinta segitiga antara Raoul (Vicomte de Chagny), Christine Daae, dan Phantom seorang jenius buruk rupa yang hidup di kegelapan lorong-lorong dasar sebuah gedung pertunjukan opera. Beberapa sutradara film telah mengadaptasi novel ini menjadi tontonan di layar perak. Terakhir versi opera musikal Phantom of the Opera dibawa ke layar lebar oleh Joel Schumacher dengan judul yang sama. Belakangan DVD-nya sudah beredar lengkap dengan cerita di belakang layar pembuatan film ini.

Setting cerita Phantom of the Opera adalah Paris Opera House, sebuah gedung megah yang benar-benar ada di kota Paris. Gedung yang saat ini dikenal dengan nama "Palais Garnier" dibangun pada antara tahun 1857-1874 atas dasar rancangan arsitek Charles Garnier. Gedung ini dibangun sedemikian megah dan besar, lengkap dengan kamar-kamar tempat tinggal para pemain dan pendukung opera, panggung, lobby, gudang, sampai ruang-ruang tersembunyi di bawah tanah yang dijadikan setting ruang tempat tinggal sang Phantom. Sebuah lampu gantung besar dan indah melengkapi kecantikan ruang pementasan utama gedung ini. Jauh di dasar gedung bahkan terdapat sebuah reservoir air berupa danau bawah tanah, yang sengaja dibuat untuk menampung keberadaan air bawah tanah di sana.

Pukul 19:30 tepat, show dimulai dengan set suasana lelang barang antik, dengan benda utama lampu gantung antik, yang rusak terkena musibah kebakaran besar di Paris Opera House. Dari situ, cerita berjalan mundur ke jaman keemasan Paris Opera House.

Alkisah, Christine Daae, seorang yatim cantik anak pemusik terkenal biola asal Swedia, bersinar namanya di panggung Paris Opera house karena alunan lagunya yang luar biasa. Tidak ada yang tahu siapa yang mengajarnya bernyanyi seindah itu. Hanya Christine yang tahu jika ia belajar bernyanyi pada si Phantom yang dikiranya adalah spirit sang ayah yang selalu turut bersamanya.

Raoul, sang bangsawan muda pelindung Paris Opera House, ternyata adalah teman main masa kecil Christine yang masih memendam rasa cinta masa kecilnya, apalagi ditambah dengan kecantikan dan kepandaian Christine bernyanyi saat ini.

Di Opera House itu sudah lama beredar rumor tentang adanya sosok misterius, si Phantom yang kerap meninggalkan surat bertanda O.G. (singkatan dari Opera Ghost). Nama asli dari Phantom adalah Erick, seorang yang menyeramkan rupanya karena terkena infeksi pada wajah sewaktu kecil. Buruk rupa wajahnya digunakan suatu kelompok Gypsy untuk dipertontonkan pada umum dengan imbalan uang recehan. Tidak tahan diperlakukan semena-mena ia pun kabur dan lari bersembunyi di dasar Paris Opera House, sambil mengasah kemampuannya menyanyi dan mengarang lagu. Untuk menutup wajahnya yang rusak, ia selalu mengenakan topeng yang menutupi sebagian wajahnya.

Kedekatan Raoul dengan Christine membuat sang Phantom cemburu. Phantom sudah lama jatuh hati pada anak didiknya yang ia sudah latih bernyanyi semenjak kecil. Kecemburuan membuatnya beringas, sehingga melakukan berbagai keonaran demi memenangkan cintanya pada Christine. Ia pernah membakar gedung, menjatuhkan lampu gantung besar di atas panggung, bahkan tega membunuh petugas pengerek layar di sana.

Raoul dan pengelola opera kemudian bersepakat mencari jalan untuk mencari tahu siapa si Phantom keji itu. Mereka melayani permintaan phantom untuk mementaskan karya akbar sang Phantom yang berjudul Don Juan Triumphant di opera mereka. Walaupun sebenarnya tidak ingin melakukan permintaan itu, Raoul tahu bahwa jika lakon itu dipentaskan, sang Phantom pasti akan muncul dan kesempatan untuk menangkapnya akan terbuka luas.

Ketika pergelaran Don Juan Triumphant dilaksanakan dengan Christine sebagai pemeran utama wanitanya, Phantom bereaksi dengan membunuh pemeran utama pria dan langsung menggantikan perannya menyanyi bersama Christine di panggung. Di panggung, Christine kemudian membuka kedok yang menutupi wajah rusak sang Phantom. Ketahuan belangnya, Phantom menyeret Christine lari ke ruang persembunyiannya di dasar Opera House.

Raoul mengejar mereka ke relung-relung dasar gedung, disertai rombongan polisi dan petugas opera yang sudah bersiap menangkap sang Phantom hidup atau mati. Di bawah tanah, Phantom berhasil menundukkan dan mengikat leher Raoul ke jeruji pagar. Ia siap menggantung Raoul jika Christine tidak mengalihkan cinta padanya.

Dalam kondisi terdesak, Christine semakin menyadari betapa buasnya hati Phantom. Namun cintanya pada Raoul sudah bulat. Demi kekasih hatinya, ia pun rela menyerahkan diri pada Phantom sebagai penebus nyawa Raoul.

Melihat sikap Christine, diluar dugaan, Phantom menjadi luluh hatinya sehingga melepas Raoul dan Christine pergi. Kesedihannya akan kekuatan cinta Christine membuat Phantom memutuskan untuk menghilang dari Paris Opera House, dan dari kehidupan Christine dan Raoul untuk selamanya.

Seluruh kisah yang diceritakan itu dilantunkan dalam nada-nada musikal karangan Andrew Lloyd Webber. Lirik lagunya disusun oleh Charles Hart dan Richard Stilgoe. Awalnya, Andrew Lloyd Webber menciptakan lagu-lagu tersebut dengan menggunakan suara Sarah Brightman yang waktu itu adalah istrinya sendiri sebagai pedoman karakter suara. Alhasil semua lagu yang ada dalam pertunjukkan ini sangat dapat dinikmati. Perpaduan nada lagu operatic dengan beat rock dan iringan orkestra langsung. Sebanyak 20 orang musisi dipimpin seorang conductor mengiringi para aktor panggung bernyanyi. Mereka duduk bersempit-sempit di ruangan antara penonton dengan panggung.

Malam itu, Phantom diperankan oleh Earl Carpenter, Christine Daae oleh Celia Graham, dan Raoul oleh Oliver Thornton. Mereka adalah pemain teater professional yang sehari-hari berprofesi sebagai anak panggung dunia seni di kota London . Earl Carpenter menjadi bintang malam itu yang secara sempurna memainkan perannya sebagai Phantom. Suaranya yang lantang menggelegar kadang diimbangi dengan desahan dan bisikan cinta sang hantu opera pada Christine Daae.

Celia Graham sebagai Christine memegang peran sentral pada keseluruhan cerita. Ia ada pada hampir semua bagian cerita. Ia menari ballet, menyanyi, berakting namun juga sedih ketika dipaksa Phantom untuk menerima cintanya.

Penonton duduk terbagi pada 3 bagian; lantai dasar, dan dua balkon. Ditilik dari rupa, dandanan, dan bahasanya, penonton malam itu berasal dari banyak negara. Di belakang kursi kami berjajar wanita penonton dari Jepang. Disisi kami duduk satu keluarga yg dari gaya bahasanya menunjukkan mereka berasal dari Amerika Serikat. Agak jauh sedikit tampak pula seorang wanita Timur Tengah berkerudung turut menikmati karya malam itu.

Pada setiap malam pertunjukkan ada 9 tokoh utama yang memainkan peran cukup penting, dibantu oleh sejumlah pemeran panggung dan penari ballet. Total dalam semalam ada 39 orang artis tampil dalam pertunjukkan tersebut.

Di belakang layar, tentunya pertunjukkan ini didukung oleh penata rias, penata busana, dan teknisi yang mengatur setting panggung, mengoperasikan special effect. Jumlahnya mungkin sama banyak dengan jumlah artis panggungnya.

Sewaktu jeda antara dua babak pertunjukkan, penonton dipersilahkan untuk beristirahat, membeli minuman, es krim, atau hanya sekedar meregangkan badan. Selain itu petugas pertunjukkan menjual pula berbagai cendera mata yang berhubungan dengan phantom of the opera. Harga-harganya cenderung selangit. Tshirt misalnya dihargai £20 (Rp. 360,000). Benda kenangan paling murah yang tersedia adalah pin penghias baju seharga £2.5 (Rp. 45.000).

Pukul sepuluh malam, show berakhir. Kami melangkah pulang menuju stasiun King's Cross dengan menyenandungkan lagu Music of the Night yang dinyanyikan oleh sang Phantom.

Nighttime sharpens, heightens each sensation

Darkness stirs and wakes imagination

Silently the senses abandon their defences

……………………….

23 September 2005

Menengok Dunia dengan Google Earth

Google seakan identik dengan inovasi. Setelah sukses besar dengan Google search engine pencari kata di dunia internet, perusahaan yang didirikan oleh dua sahabat Larry Page dan Sergey Brin ini banyak menelurkan produk-produk brilian lainnya. Sebut saja Gmail (program email dengan kapasitas diatas 2 GB), Google Scholar (pencari publikasi ilmiah online), dan terakhir Google Earth (http://earth.google.com).

Google Earth adalah aplikasi yang memberikan kesempatan pada penggunanya untuk mengakses database pencitraan bumi yang didapat dari satelit. Kalau mau jujur, Google sebenarnya membeli kerangka dasar Google Earth dengan mengakuisisi Keyhole, sebuah perusahaan digital and satellite image mapping yang mempunyai produk dengan nama yang sama. Tapi kemudian Google dengan brilian mengembangkan Keyhole sehingga bertransformasi menjadi Google Earth.

Saat ini Google Earth tersedia dengan 3 jenis pilihan, yaitu versi gratis (free), versi Plus dan versi Pro. Versi Plus dan Pro menyediakan fasilitas pencetakan gambar dengan definisi yang lebih tinggi, interaksi dengan alat penerima GPS (Global Positioning System), serta beberapa kelebihan lainnya dibandingkan dengan versi gratisnya.

Berbeda dengan online map lain yang ada di internet, Google Earth menyajikan tampilan berupa Globe (bola bumi) bumi secara alami persis seperti apa yang dilihat astronaut dari luar atmosfir bumi. Navigasi dapat dilakukan dengan memilih tombol-tombol navigasi, menggerakkan mouse komputer pada layar, atau dengan gerakan mouse wheel.

Dengan versi gratis pun, menjelajah dunia dengan Google Earth sangat mengasyikkan dan informatif. Google Earth menyediakan beberapa tempat populer di dunia yang dapat dilihat dengan hanya menekan tombol mouse saja. Dengan sekali double click kita bisa langsung melihat foto udara stadion olimpiade Sydney di Australia dengan detail. Kantor pusat perusahaan Google di California, menjadi contoh kecanggihan detail Google Earth dengan mempertontonkan deretan tenda dan kursi tempat makan siang dan duduk-duduk pegawai Google di halaman belakang kantor.

Beberapa lokasi bahkan tersedia gambarnya secara 3 dimensi. Obyek yang ada di lokasi itu dapat kita putar-putar sesuai dengan arah pandang yang kita inginkan. Menara Eiffel di Paris dan Nelson's Collumn di Travalgar Square London misalnya dapat kita nikmati panoramanya dengan menarik secara 3 dimensi.

Pada beberapa lokasi, Google Earth mampu menyajikan gambar dengan akurasi yang sangat mengagumkan. Pegunungan, gedung-gedung, bahkan sampai kendaraan yang berada di jalan raya dapat dilihat di Google Earth. Sayangnya Google Earth hanya dapat dinikmati oleh pengguna internet dengan kapasitas Broadband (rekomendasi Google adalah kecepatan download 768 kbps ke atas), mengingat besarnya data yang harus ditransfer demi menghasilkan gambar yang mendetail. Akurasi gambarnya untuk Indonesia juga belum sedemikian mendetail seperti gambar yang tersedia untuk kota Singapura misalnya.

Kita juga bisa coba melihat areal Indonesia dengan Google Earth. Kita bisa menjelajahi Indonesia bak pesiar ke seluruh pelosok tanpa perlu melangkahkan kaki sedikitpun.

Dari ketinggian 2950 miles (4764 km) rentang kepulauan Indonesia terlihat menawan. Pulau-pulau besar dan kecil bak mosaik yang menghiasi lautan biru khatulistiwa. Ceruk dan palung dasar laut tampak pula merentang di antara pulau-pulau kita.

Jika kita ingin coba lihat lebih dekat bumi Indonesia dari langit, tinggal gerakkan tombol scroller di mouse yang mengaktifkan gerakan zooming in dan zooming out tampilan di layar Google Earth.

Kota-kota besar dan kecil di Indonesia, sedikit banyak kita telusuri lewat gambar-gambar Google Earth. Surabaya, Sintang, Surakarta, Soroako, Samarinda, sampai Sorong dapat kita jelajahi dengan sekejab.

Lebih jauh, kita bisa mengagumi keanggunan dan keangkuhan gunung-gunung berapi di Indonesia. Mulai dari gunung Kerinci di Jambi, gunung Merapi di Jawa Tengah, Semeru, Bromo di Jawa Timur, gunung Agung di Bali, gunung Rinjani di pulau Lombok, sampai Gunung Tambora di Flores.

Pulau-pulau yang sewaktu sekolah dasar sering diceritakan pada kita oleh guru kelas dapat diintip dengan cepat. Pulau Samosir di tengah danau Toba yang nyaris bersatu dengan daratan di sekelilingnya, pulau Maekor di kepulauan Aru, pulau Matak di laut Cina Selatan, sampai pulau Gag di dekat kota Sorong Papua.

Danau-danau yang mungkin tidak akan pernah mampu kita kunjungi di seantero Indonesia dapat pula dinikmati kecantikannya langsung di layar komputer. Pernahkan anda lihat kecantikan danau Laut Tawar di Aceh? Atau danau Dibaruh, danau Talang, dan danau Diatas di Sumatera Barat? Pernah anda tengok danau Jempang, danau Semajang dan danau Melintang di Kaltim? Danau Manswon dan danau Sobe di kawasan kepala burung Papua? Semuanya bisa kita lihat lewat Google Earth.

Beberapa tempat yang 'terkenal' di Indonesia karena kasus-kasus kontroversial dapat kita observasi dari udara. Desa Buyat, Ratatotok, dan teluk Buyat yang pernah ramai dibicarakan tercemar dapat 'diintip' dari Google Earth. Kota Dilli, Baucau dan Viqueque di Timor Timur yang pernah mencicipi berada dalam kekuasaan Indonesia dapat pula kita teropong keberadaaannya.

Hijaunya hutan dan perkebunan, coklatnya ladang gundul, dan kelabunya kota-kota besar di Indonesia dapat kita lihat dengan jelas. Imaji yang terlihat dari udara ini dapat diaplikasikan untuk berbagai macam tujuan. Diantaranya untuk tata kota, tata guna lahan, observasi hutan, arkeologi, geologi, sampai pertahanan negara.

Bisa dibayangkan bahwa jika layanan Google Earth yang gratisan ini saja dapat menghasilkan gambar-gambar begitu detail dan menawan, bagaimana image yang dihasilkan oleh satelit mata-mata Amerika atau Israel? Mungkin pemandangan lahan jemuran belakang rumah kita bisa terekam gambarnya di layar monitor komputer mereka.

Namun demikian, kita bisa pikirkan itu nanti. Marilah sekarang kita tamasya dulu bersama Google Earth!

19 September 2005

Ada KLB Flu Burung di Indonesia!

Kematian Iwan Siswara Rafei dan dua putrinya bulan Juli lalu masih hangat dalam ingatan kita. Waktu itu pihak Departemen Kesehatan diberitakan sudah memeriksa contoh darah Iwan sekeluarga, tetangga, dan kerabatnya akan kemungkinan terjangkiti virus Flu Burung (Avian Influenza). Contoh darah mereka dikirim ke Laboratorium rujukan di Hongkong.
Hasilnya, memang Iwan Siswara Rafei dan dua putrinya meninggal karena Flu Burung. Namun demikian, setelah dilakukan investigasi epidemiologis, tidak diketahui sumber penularannya pada keluarga Iwan. Depkes pun kemudian mengakhiri penyelidikan kasus ini tanpa menghasilkan kesimpulan darimana datangnya si Flu Burung yang merenggut nyawa ketiga korban tersebut. Case closed (temporarily).
Setelah sekian minggu masalah Flu Burung terkubur diantara keriuhan berbagai permasalahan Indonesia lainnya, Flu Burung kembali diumumkan sebagai penyebab kematian Rini Dina di Jakarta. Kemudian kasus ini menjadi lebih hangat lagi dengan berita ditutupnya KB Ragunan karena belasan satwanya diindikasikan terkena Flu Burung. Bahkan kemudian dikabarkan ada beberapa ekor ayam yang dijual di pasar burung Jakarta positif terkena virus jahat ini.
Kemudian hari Senin (19/09/05), Menteri Kesehatan lewat media massa menetapkan kasus Flu Burung sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Sebuah pernyataan yang sedikit menyeramkan mengingat penetapan status Kejadian Luar Biasa ini kadang agak sungkan dikeluarkan oleh pemerintah. Misalnya pada kasus demam berdarah yang banyak marak di beberapa kota di Indonesia, walau sudah menelan puluhan bahkan ratusan jiwa manusia, status KLB masih kadang tidak diterapkan.
Lalu mengapa sekarang jadi KLB? Korbannya baru empat orang (keluarga Iwan Siswara dan Rini Dina)!
Jiwa manusia tidak ternilai harganya. Kehilangan satu nyawa pada dasarnya tidaklah bisa digantikan dengan uang berapapun nilainya. Dengan demikian bukankan sudah sepantasnya status KLB dikeluarkan?
Flu Burung disebabkan oleh beberapa jenis virus yang pada awalnya hanya menyerang hewan unggas dan babi. Baru pada tahun 1997 diketahui terjadi penularan strain H5N1 virus flu burung (avian influenza) pada manusia, dimana 18 orang dinyatakan positif terinfeksi dan 6 orang diantaranya meninggal dunia. Studi genetik membuktikan bahwa virus yang ada di korban identik dengan virus yang ada di hewan yang terifeksi. Investigasi menyimpulkan bahwa kontak langsung manusia dengan hewan terinfeksi flu burung adalah menjadi media berpindahnya flu burung pada manusia.
Beruntung pemerintah Hongkong bertindak cepat dengan memusnahkan 1.5 juta unggas yang ada di Hongkong dalam waktu hanya tiga hari. Tindakan ini, dan juga langkah medis yang diambil, secara dramatis mengurangi kemungkinan timbulnya transmisi virus burung secara massal, dan bahkan kemudian meredakan kasusnya sehingga tidak menjadi pandemi.
Setelah kasus ini, kasus flu burung pada manusia muncul kembali di Hongkong pada tahun 2003. Bahkan flu burung diketahui pula telah melintas batas negara dengan ditemukannya beberapa kasus di Vietnam, Korea dan Belanda. World Health Organisation (WHO) sebagai lembaga yang mempunyai otoritas kesehatan di seluruh dunia telah bertindak cepat dengan menerjunkan tim yang meneliti berbagai aspek penyebaran kasus flu burung ini. WHO juga telah mengeluarkan berbagai petunjuk, guidelines, dan prosedur dalam menyingkapi munculnya kasus ini.
Kekhawatiran besar para ahli kesehatan dunia adalah kemungkinan Flu Burung meluas penyebarannya dan menjadi pandemi tidak terkendali. Sama seperti kasus SARS yang lalu misalnya dimana terjadi kepanikan hampir di seluruh dunia.
Tanpa flu burung saja, pandemi flu 'biasa' dapat menimbulkan berbagai masalah besar. Pada awal abad ke 20 misalnya, telah terjadi pandemi influenza luar biasa yang diperkirakan menelan korban 40-50 juta jiwa di seluruh dunia. Pandemi yang sama terjadi lagi pada akhir dekade 50-an dan 60-an.
Pada strain H5N1, flu burung diketahui dapat berpindah host-nya dari unggas dan babi kepada manusia. Penularan virus strain ini dari manusia ke manusia lain sampai saat ini masih belum menjadi kehawatiran. Namun demikian, dengan semakin banyaknya kasus penularan virus burung ke manusia ditengarai dapat meningkatkan interaksi antara gen virus flu burung dengan gen flu biasa yang banyak dialami manusia. Interaksi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan jenis flu baru yang dapat menularkan manusia lainnya, yang dapat berdampak buruk secara umum, bahkan global.
Tanpa upaya surveilans dan penanggulangan yang tepat, flu burung bisa merajalela di Indonesia. Pergerakan manusia, produk unggas, dan migrasi unggas secara natural memungkinkan persebaran virus ini. Mudahnya transportasi lokal, regional, dan internasional lebih memungkinkan lagi pergerakan virus tersebut pada area yang lebih luas.
Dengan dikonfirmasikannya kasus-kasus flu burung di Indonesia, sudah pasti virus tersebut ada dan menghinggapi unggas Indonesia. Upaya cepat dan tepat untuk menanggulanginya sangat diharapkan dari pihak yang berwenang, dalam hal ini Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, dan Departemen Kesehatan.
Mengingat sampai saat ini penularan virus flu burung dari manusia ke manusia lain belum/tidak ditemukan, upaya pemberantasannya adalah dengan mengeliminasi host virus ini sampai ke manusia. Implikasinya memang berat, yaitu dengan memusnahkan kawanan ternak unggas, dan hewan-hewan lain yang dicurigai telah terinfeksi strain virus ini. Pemusnahan ini tentunya akan sangat memukul industri perunggasan di Indonesia dan juga sektor jasa makanan yang terkait dengannya.
Potensi kerugian dari peternak, pengusaha sektor makanan dan karyawannya akibat kemungkinan pemusnahan hewan ternak ini memang besar. Tapi mungkin lebih besar lagi kerugiannya apabila sampai terjadi pandemi flu burung di Indonesia, atau di dunia.
Jadi memang saat ini sudah KLB Flu Burung! Jangan tunggu nanti-nanti!

13 September 2005

Cerita dari FKM UI # 7 - Habis

R e s o n a n s i

Semua orang yang pernah diwisuda di UI seharusnya pernah mendengar lagu "Gaudeamus Igitur" dinyanyikan oleh mahasiswa baru kepada para wisudawan.

Ini sebagian liriknya:

Gaudeamus igitur
Juvenes dum sumus
Post jucundum juventutem
Post molestam senectutem
Nos habebit humus.

Vivat academia
Vivant professores
Vivat membrum quodlibet
Vivat membra quaelibet
Semper sint in flore

Dalam bahasa Inggris, artinya kurang lebih adalah sebagai berikut:

Let us rejoice therefore
While we are young.
After a pleasant youth
After a troublesome old age
The earth will have us.

Long live the academy!
Long live the teachers!
Long live each male student!
Long live each female student!
May they always flourish!

Artinya kurang lebih berisi harapan agar semua komponen akademik dapat sukses dalam kehidupannya.

Lalu, apa makna gelar SKM yang kami sandang sebagai seorang lulusan FKM?
Apakah masa depan kami menjadi lebih cerah setelah melalui pendidikan di FKM UI?
Apakah berguna pendidikan kami ini?

Alumni angkatan pertama program S1-4 di FKM UI kini berkiprah di berbagai institusi. Sebagian memilih mengabdikan dirinya kembali di FKM UI, menjadi pengajar adik-adiknya di program yang sama. Ada pula yang mengajar di Universitas lain yang ada di Jakarta. Sebagian memilih bergabung di departemen kesehatan, baik di pusat, maupun di dinas-dinas kesehatan daerah. Ada juga yang bergabung dengan PT Askes. Beberapa memilih aktif dalam LSM yang bergerak dalam dunia kesehatan.

Satu dua memilih menjadi karyawan perusahaan swasta seperti bank dan asuransi, dan mereka bisa sukses bersaing dengan lulusan fakultas lain. Salah seorang dari kami memilih profesi sebagai editor di sebuah media cetak. Ada pula yang berkesempatan bekerja di lembaga-lembaga internasional ternama di Indonesia.

Saya sendiri memilih untuk bergerak di bidang pendidikan. Walau pernah mencicipi dunia kerja profesional berdasi di kantor-kantor jangkung, bidang ini adalah 'habitat' yang terbaik buat saya. Pendidikan dan Kesehatan adalah modal dasar tegaknya sebuah bangsa. Turut membantu kejayaan bangsa adalah impian yang dapat dijalankan sejalan dengan mencari penghasilan dalam profesi ini.

Hanya saja pilihan profesi di bidang pendidikan haruslah siap menghadapi banyak kesulitan. Selain financial reward yang dihasilkan dari profesi ini tidaklah besar, Prof. Ascobat pernah berkata bahwa untuk berkarya di bidang pendidikan kesehatan masyarakat kita harus punya "Ausdauer", yaitu kemampuan untuk menjalani kesulitan dan kesusahan dengan kesabaran tinggi. Napas, energi dan komitmen kita haruslah sekuat baja dalam meniti karir di bidang ini. Kalau tidak, kita bisa mati frustasi.

Beliau mengilustrasikan bahwa dalam selama kariernya di FKM UI, ia telah mengajar hampir seluruh jajaran pejabat departmen kesehatan, dan ribuan stafnya di daerah-daerah. Apa ada bekas ilmu yang diajarkannya dan juga nilai-nilai moral yang diselipkannya pada mahasiswa? Kalaupun ada dampaknya, sulit sekali dilihat dan diukur.

Sudah puluhan bahkan ratusan lokakarya, ceramah, simposium, seminar, panitia ad-hoc, proyek, dan program penelitian serta kegiatan konsultansi yang dilakukannya untuk membantu Depkes dan institusi kesehatan lainnya. Apa dampaknya bagi kesehatan masyarakat Indonesia? Kalaupun ada dampaknya, sulit sekali dilihat dan diukur.

Sudah puluhan bahkan ratusan paper ditulisnya, dicopy dan disebarluaskan orang lain kepada banyak mahasiswa dan pejabat. Sudah ribuan kilometer ditempuhnya mengunjungi kantor dinas kesehatan, puskesmas, rumah sakit, dan juga kantor pejabat untuk mencari data, menganalisis, menyimpulkan serta memberikan rekomendasi pemecahan masalah. Apa dampaknya bagi kesehatan masyarakat Indonesia? Kalaupun ada dampaknya, sulit sekali dilihat dan diukur.

Terakhir saya bertemu pak Ascobat di ruang kantor PKEK, ia bercerita panjang lebar tentang dunia kesehatan masyarakat di Indonesia. Tentang perjuangannya, tentang usahanya menabur garam di lautan. Tidak ada usaha yang sia-sia. Tuhan menilai pengabdian manusia tidak hanya dari hasil perbuatannya, tapi bahkan dari niat dan usahanya.

Umur kita terus melangkah tanpa penghadang. Kapasitas dan kemampuan otak dewasa kita terus tergerus sejalan dengan waktu. Tidak ada mesin waktu yang bisa mengembalikan jam biologis manusia. Teruslah berusaha, manfaatkan modal otot, otak, kesempatan dan waktu yang telah diberikan Tuhan untuk menjalani hal-hal yang baik.

Masih banyak cita yang dapat dicapai. Masih banyak kerja yang belum selesai. Masih ada waktu untuk berbenah.

Hanya diam dan pasrah yang membawa kesia-siaan.

 

#### habis #####

Cerita dari FKM UI # 6

Ada satu mata kuliah di FKM yang sebenarnya tidak tepat disebut "mata kuliah" karena isinya bukanlah perkuliahan. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) adalah kegiatan dimana kami mahasiswa diharapkan dapat belajar langsung dari masyarakat dan institusi pelayanan kesehatan di lapangan akan pelayananan kesehatan dan problematikanya di lapangan.

Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang ditugasi untuk mempelajari masalah kesehatan dan pelayanannya di area tertentu, yang waktu itu adalah sebatas area kelurahan.  Prakteknya kami kemudian mengumpulkan data dan informasi, mengolahnya dan kemudian mencoba menyimpulkan masalah apa yang terjadi di area 'garapan' masing-masing kelompok.

Kami juga melakukan survey kecil tentang kesehatan di kelurahan tempat kami ber PBL. Mungkin ini pendekatan yang terlalu akademis untuk mengenal permasalahan kesehatan masyarakat, tapi rasanya mengasyikkan juga mencoba mengaplikasikan hal-hal yang telah diajarkan pada kami di kelas.

Pada PBL II yang dilakukan pada semester-semester akhir, kegiatan yang kami lakukan adalah melakukan 'intervensi' yang sesuai dengan permasalahan yang ditemukan sewaktu PBL I. Intervensinya bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan yang diidentifikasikan di setiap kelurahan.

Secara tidak langsung, melalui PBL kami dilatih berorganisasi. Kami saling membagi tugas, bahu membahu melakukan pendekatan pada staf puskesmas, staf kelurahan dan masyarakat umum. Kami juga saling berbagi suka dan duka. Mulai dari menerima 'semprotan' orang-orang yang merasa kegiatan kami hanya menyusahkan mereka sampai ramai-ramai bergadang berjamaah di rental komputer jalan Margonda untuk menyelesaikan laporan.

Proses PBL membekali kami akan pentingnya team work. Ini belakangan terasa ketika beberapa dari kami mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diselenggarakan di tingkat Universitas. KKN bukan kegiatan wajib bagi mahasiswa UI. Sebagian besar dari mahasiswa FKM yang mengikutinya tidak mengalami kesulitan menempuh kegiatan KKN dan bahkan menjadi ketua-ketua kelompok dari tim yang anggotanya berasal dari berbagai fakultas yang ada di UI. Pada KKN terasa sekali bahwa mahasiswa FKM lah yang paling siap menghadapi masyarakat secara langsung. Kebanyakan mahasiswa dari fakultas lain hanya bisa plonga-plongo bingung harus melakukan apa ketika terjun dalam kegiatan ini.

PBL juga menyiratkan banyak kenangan pada kami. Anak gadis kelas 3 SMP di rumah ketua RT tempat kami berkumpul kala PBL I cukup manis parasnya. Berdesir dada kami para pria satu kelompok kala memandang si gadis. Saat kami datang lagi ke rumah pak RT itu dalam PBL II setahun kemudian, si gadis sudah tidak gadis lagi. Sudah jadi istri orang dan punya dua anak kembar pula. Rupanya bukan hanya kami yang berdesir dada kala melihat si gadis.

Memasuki semester-semester akhir kuliah, kami diminta untuk memilih satu peminatan dari 6 peminatan yang ada waktu itu. Sebagian besar memilih peminatan K3. Peminatan PKIP entah kenapa paling sedikit peminatnya kala itu yaitu hanya 2 orang saja. Saya sendiri memilih peminatan K3. Dalam benak saya waktu itu peminatan ini menawarkan hal yang jelas, dan jenis pekerjaan yang bisa ditekuni setelah lulus nanti sudah cukup dikenal publik.

Walaupun sudah agak lebih mengarah pada kedalaman materi, kami masih diperkenankan mengambil mata-mata kuliah pada peminatan lainnya. Saya pribadi senang sekali masih bisa membuka wawasan pada mata ajaran lain di luar peminatan K3, sehingga khasanah pengetahuan masih bisa berkembang terus.

Kemudian masuklah ke masa pembuatan skripsi. Sebagian diantara kami dapat mengerjakannya dengan lancar sehingga kemudian bisa menyelesaikan studinya dalam waktu 4 tahun tepat. Ada 8 orang dari seluruhnya 42 mahasiswa di angkatan kami yang bisa lulus dalam waktu 8 semester. Salut kami pada mereka atas keberhasilannya.

Persahabatan kami sesama mahasiswa satu angkatan cukup erat. Demikian pula dengan adik kelas kami. Bahkan sewaktu intensif ngebut mengerjakan skripsi, beberapa teman ikut bergadang di rumah orang tua saya untuk mengetikkan bab demi bab draft skripsi saya.

Waktu itu pembimbing skripsi belum tentu dosen yang berasal dari jurusan yang bersangkutan. Jadi kadang nggak nyambung antara topik yang diteliti mahasiswa dengan pengetahuan dan keilmuan sang dosen. Pembimbing saya kebetulan baik orangnya. Walaupun tidak banyak kontak dalam rangka pengerjaan skripsi, beliau tidak banyak tanya-tanya saat ujian, bahkan membantu saya menjawab pertanyaan penguji lainnya. Makasih ya pak!

Kebanyakan dari kami seangkatan akhirnya lulus dalam waktu 9 semester, dan diwisuda pada awal semester genap di bulan Februari. Saya sendiri akibat terlena dengan berbagai kegiatan dan aktifitas terpaksa tidak bisa lulus dalam waktu 9 semester walaupun ujian skripsi sudah dilakukan pada bulan Februari. Jadilah saya lulusan S1-5 alias S1-4 plus (satu tahun).

Sayang sekali beberapa dari teman seangkatan tidak bisa menyelesaikan pendidikan di FKM UI, menjadi Sarjana Kesehatan Masyarakat. Ada yang sudah 'gugur' di semester 1, semester 2, dan ada pula yang hanya tinggal menyelesaikan skripsinya saja. Entah apa halangannya.


#### bersambung di bagian terakhir #####

12 September 2005

Cerita dari FKM UI # 5

Di kampus, ada juga mahasiswa yang berasal dari program lainnya. Mereka ini adalah mahasiswa program S1-2, S2, dan S3. Program S1-2 menerima calon mahasiswa dari mereka yang sudah lulus program Diploma dan ingin meneruskan pendidikannya menuju jenjang Sarjana. Tidak heran kalau sebagian dari mereka sudah tua-tua dari segi usia. Tidak jarang kami diolok-olok oleh mahasiswa fakultas lain sebagai anak fakultas yang 'bermutu' (bermuka tua). Sambil senyum kecut kami biasanya membalas dengan candaan lain, bahwa FKM itu singkatan dari Fakultas Ketok Magic. Tampang sejelek dan setua apapun bisa dipoles menjadi muda dan mulus lagi tanpa perlu dicat ulang.

Mereka ini, mahasiswa program S1-2, sudah banyak makan asam garam dunia pekerjaan, sedangkan kami dari program S1-4 masih Nol besar. Padahal banyak kegiatan perkuliahan yang menyatukan perkuliahannya diantara kedua varian ini. Jadilah kami sering hanya dapat melongo atau ngobrol sendiri saat dosen dan mahasiswa S1-2 berdiskusi tentang berbagai hal. Tapi mereka juga lucu-lucu. Ada teman yang sewaktu penataran P4 di awal perkuliahan kerjanya tiduran saja di bangku panjang dalam kelas. Panitia penataran P4 yang mahasiswa-mahasiswa tingkat 2 atau 3 tidak berani menegur mereka, wong umurnya sudah setua dengan ibu mereka! Takut kualat nanti.

Kadang, saking berbedanya atmosfir pembicaraan antara mahasiswa 'bermuda' (bermuka muda) dengan mereka mahasiswa 'bermutu', sering terjadi perang dingin di dalam dan di luar kelas. Mahasiswa S1-4 berkumpul di ujung belakang ruangan sementara mahasiswa S1-2 duduk di depan. Tapi di akhirnya semuanya lancar saja. Malah banyak cerita lucu dan menarik yang dapat dikenang dari interaksi kami selama itu. Bayangkan, dari satu angkatan mahasiswa FKM dari program S1-2 ketika itu, ada sekitar tiga puluhan yang berjenis kelamin wanita. Selama periode itu, lebih dari separuh dariwanita mahasiswa S1-2 yang yang hamil dan melahirkan dalam kurun dua tahun program pendidikan mereka. Kalau bisikan " Ada mahasiswi hamil" bisa menjadi bahan gosip heboh di fakultas lain, di FKM ini biasa saja. Di sini sudah adanya!

Selain mahasiswa dan dosen, ada juga penghuni lainnya di kampus FKM UI. Staf non-akademik jumlahnya mungkin hampir sebanding dengan staf akademik. Sayangnya, keberadaan mereka lebih sering terlupakan dan terpinggirkan.

Petugas perpustakaan bersahabat dekat dengan kami. Maklum, memang saat itu mahasiswa FKM belum begitu banyak dan kami-kami inilah yang sering duduk dan bikin bising ruang perpustakaan yang seharusnya senyap. Pak Muchtarom dan Pak Poniran dengan setia menunggu ruang pustaka yang terbagi dua. Kami tinggal mengacungkan kertas yang bertuliskan kode buku yang dicari lalu beliau berdua sigap mencarikannya di deretan rak-rak panjang di ruangan dalam. Ada juga mas Suratman yang semula bertugas mengoperasikan mesin fotocopy di perpustakaan. Bu Winda, bu Johartien, dan mbak Endang juga lama-kelamaan akrab dengan kami karena seringnya kami 'ngendon' dan menggosip di sana. Mereka selalu menyambut kami dengan antusias, mungkin juga sedikit sebal, karena kadang tingkah laku kami agak norak dan dan minta dilayani bagai orang penting. Saat pak Poniran dikabarkan meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, kami merasa sangat sedih dan kehilangan.

Selain mereka yang di perpustakaan, banyak staf penunjang lainnya yang kami kenal dan menjadi dekat dengan kami. Ada mbak Susi, mas Bambang, mas Hendra, mbak Tini, mas Supri, dan banyak nama lainnya menjadi teman-teman kami di FKM UI. Ada juga office boy kampus yang biasanya juga merangkap sebagai petugas kebersihan kelas. Mas Paryono misalnya adalah orang yang selalu setia membawakan air putih atau teh manis pada setiap dosen yang mengajar di kelas. Ia juga membersihkan sisa cemilan yang dibawa mahasiswa ke dalam kelas. Ia juga yang mengingatkan kami untuk keluar dari kelas kalau hari sudah sore karena ia perlu menguncinya agar tidak terjadi kehilangan. Walau berpendidikan tidaklah tinggi, mas Paryono masih bersemangat untuk melanjutkan pendidikan, sampai ia lulus persamaan SMA sewaktu kami sudah lulus dari FKM UI. Karena kami sering kongkow di kampus sampai sore, atau kadang juga menginap di kampus, para anggota satuan pengamanan (Satpam) adalah teman kami juga. Suka duka mereka kami ikut dengarkan. Kala kami menginap di kampus, kadang kami membawakan sebungkus dua bungkus nasi dari warung di pinggir jalan Margonda untuk mereka. Kasihan mereka. Biasanya perhatian kita pada mereka hanya muncul kalau ada kehilangan atau kejadian kriminal di kampus. Padahal mereka manusia juga yang perlu berkembang dan juga punya cita-cita.

Apalagi beberapa dari staf penunjang ini tidaklah terlalu baik nasibnya. Sebagian dari mereka selama bertahun-tahun hanya dapat bekerja dalam status sebagai pekerja honorer karena keterbatasan formasi pegawai negeri di Universitas Indonesia. Mereka melihat silih bergantinya mahasiswa masuk, kuliah, ujian, lulus, atau DO. Mereka melihat pula staf pengajar muda masuk, mengajar, tertimbun 'proyek', dan sedikit-sedikit menghilang dari kampus. Mereka melihat pula bermacam konflik, silang pendapat, heboh dan sepinya perkembangan FKM UI. Mereka pulalah yang pernah menjadi bahan refleksi pak Ascobat saat ia mengetahui bahwa banyak staf non-akademik di FKM UI yang mempunyai kadar HB yang lebih rendah dari standar normal karena hanya mendapat asupan energi yang tidak baik. Suatu ironi sangat perlu disingkapi karena terjadi di kampus FKM yang seharusnya memikirkan kesehatan karyawannya dulu sebelum memikirkan kesehatan masyarakat Indonesia!


#### masih bersambung lagi #####



Cerita dari FKM UI # 4

Saya sengaja tidak pernah menyebut nama dosen dengan nama gelarnya. Rasanya
tidak fair kalau pengajar yang lulusan kedokteran, kedokteran gigi, disapa
sebagai 'Dokter' sebelum namanya dan lulusan teknik disapa sebagai
'Insinyur', tapi lulusan sarjana hukum, sarjana psikologi, sarjana teknik,
atau sarjana kesehatan masyarakat tidak dipanggil sesuai dengan
kualifikasinya. Selain itu, pengunaan sapaan Bapak/Pak atau Ibu saya nilai
tidak mengurangi rasa hormat kepada yang disapa.

Hanya jika seseorang sudah mencapai gelar Professor sebagai pengakuan
tertinggi di bidang akademik saya kadang menyapa beliau dengan sebutan Prof
dibanding dengan hanya memanggil mereka dengan sebutan Bapak atau Ibu. Dalam
benak saya, biasanya seorang profesor adalah seseorang yang sudah mencapai
derajat keilmuan tertinggi di bidangnya dan juga mempunyai kearifan dalam
kehidupan.
Contoh ini saya lihat dari Prof Sukidjo Notoatmodjo dan Prof Does Sampoerno.
Keduanya dapat memberikan ilmunya pada mahasiswa secara sistematis dan
logis, dalam bahasa yang mudah dicerna, serta dapat mensarikan berbagai
fenomena dalam bidangnya menjadi benang merahnya saja. Mereka sama sekali
tidak menyombongkan diri dan dapat 'mengemong' junior-juniornya dengan baik.


Sewaktu kami kuliah, ada beberapa dosen muda yang bergabung dengan FKM UI.
Ada pula beberapa dosen yang baru saja pulang dari pendidikan di luar
negeri. Masih *fresh *dengan ide-ide dan ilmu yang mereka dapat di
universitas-universitas terkenal di luar negeri. Beberapa diantara dosen
muda ini kemudian menjadi dekat dengan kami.

Salah seorang diantara staf pengajar muda waktu itu adalah pak Budi
Haryanto. Walau belum pernah mengajar langsung, kami cukup dekat dengan pak
Budi. Setelah tahu bahwa beliau adalah seseorang dengan 'ilmu' bela diri
yang cukup mumpuni, kami pun meminta beliau untuk dapat mengajari kami
(secara gratis tentunya) di kampus FKM UI. Beliaupun setuju. Mulailah setiap
pukul 4 sampai 6 sore dalam dua kali seminggu di lobby bawah aula FKM UI
ramai dipenuhi teriakan 'gejuk kiri', 'samplok kanan', dan 'hening'….

Setelah lelah berlatih bela diri, kami harus mandi untuk menghilangkan letih
dan melenyapkan keringat serta bau badan. Sayangnya waktu itu fasilitas
untuk mandi di kampus tidak tersedia. Jadilah kami nongkrong di depan ember
dalam bilik toilet untuk mengguyurkan air ke tubuh kami. Kadang, kami minta
kebaikan hati anggota Satpam yang bertugas untuk menggunakan kamar mandi
khusus Satpam di pos keamanan sudut tempat parkir.

Dosen lain yang cukup dekat dengan kami adalah pak Zulasmi Mamdy. Beliau
pernah menjabat sebagai pembantu dekan III yang kebagian mengurus masalah
kemahasiswaan. Waktu itu kebetulan juga beliau adalah kepala laboratorium
Audio Visual jurusan PKIP. Tidak jarang kami meminta ijin beliau untuk
menggunakan fasilitas yang ada di dalamnya untuk kepentingan Senat
Mahasiswa. Pak Asril Nazar dan mas Daryono yang ketika itu menjadi teknisi
di sana dengan senang hati pula membagi ilmunya pada kami. Kamipun
sedikit-sedikit diperkenankan menggunakan kamera, editing suite, dan kamar
gelap untuk proses fotografi di laboratorium itu. Saat ada pementasan dalam
rangka mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, editing musik untuk kelompok kami
dilakukan pula di laboratorium ini.

Pak Zulasmi juga kadang mengajak saya membantunya melakukan beberapa
kegiatan yang menyangkut fotografi. Senang rasanya bisa bergaul dekat dengan
dosen, membantu beliau, dan dibayar lagi!

Pada periode kedekanan berikutnya, pembantu dekan III diamahkan pada pak
Syahrizal Syarif. Beliau adalah sosok dosen muda yang enerjik. Di kelas
beliau dengan jelas dan menarik membawakan materi tentang epidemiologi. Di
luar kelas, beliau adalah sosok kakak yang siap membantu menjalankan
berbagai aktifitas kami. Tidak jarang beliau mengundang untuk mampir ke
rumah beliau di Depok untuk ngobrol-ngobrol atau berbuka puasa. Sungguh
sosok yang menyenangkan dan membanggakan.

Tidak semua dosen menyenangkan. Satu dua ada yang membosankan bahkan
menyebalkan. Ada seorang pengajar yang selama satu semester mengisi
pelajaran 2 SKS hanya memberikan materi itu-itu saja, yang selalu diulangnya
setiap sesi pelajaran! Ada pula pengajar yang tidak pernah mengajar
menghadap mahasiswa. Hanya papan tulis yang ditatapnya sepanjang jam
pelajaran. Tidak heran kalau satu demi satu penghuni kelas akan 'menghilang'
lewat pintu belakang. Di akhir waktu kuliah, hanya segelintir mahasiswa yang
tersisa di baris-baris kursi kelas.

Ada dosen yang sepanjang semester hanya masuk sebanyak tiga sesi
perkuliahan. Ada dosen yang duduk mencongkang di meja, sambil menyuruh kami
melakukan ini-itu. Ada juga dosen yang memberikan pelajaran yang sangat
membosankan sehingga salah seorang rekan kami tertidur duduk bertolak dagu
sampai pelajaran usai. Sang dosen bahkan sampai tidak tega membangunkannya
ketika kelas usai.

Kebanyakan dari kami senang 'bergaul' dengan dosen-dosen juga karena mereka
mempunyai banyak kegiatan selain mengajar di kelas, yang kadangkala
'disalurkan' kepada kami.

Suatu ketika ada 'proyek' pemetaan warung di Jakarta, untuk studi S3 salah
seorang dosen FKM UI. Sebagian dari kami diminta membantunya. Tentu saja
kami lakukan dengan senang hati. Maklum, selain menambah ilmu, uang yang
dihasilkannya pun lumayan. Proyek ini enteng-enteng berat. Tugas kami adalah
hanya mencari dan memetakan warung-warung yang diperkirakan menjual obat
diare. Kami berkeliling masuk keluar kampung di Cengkareng Barat, Bogor, dan
beberapa tempat lainnya. Kadang kala orang curiga ada serombongan anak muda
'celingak-celinguk' mencari warung di kampung orang. Kadang kami kehujanan
di tengah lika-liku jalan kampung. Kadang kami tersasar di daerah yang agak
'menyeramkan'.

Suatu waktu ada kegiatan survey yang dilakukan untuk mencari tahu pola dan
perilaku kesehatan reproduktif pada wanita usia produktif di daerah kumuh di
Jakarta. Kami mengunjungi daerah-daerah paling kumuh di Jakarta yang
dijadikan sasaran penelitian. Ada lokasi di Manggarai, Cengkareng,
Cilincing, Pulo Gadung, dan Tanah Abang. Banyak peristiwa menakutkan, lucu,
dan seru yang kami alami. Misalnya saja sewaktu saya mewawancarai seorang
gadis berusia 16 tahun yang tinggal di belakang terminal Pulo Gadung, sang
ayah yang duduk di ujung ruangan terus mengamati dengan tatapan tajam,
sembari terus mengiris bawang dengan pisaunya yang tajam. Maklum, sang ayah
adalah seorang tukang sate Madura yang curiga pada seorang pemuda yang
bertanya tentang hal-hal sensitif pada anak gadisnya.

Pengalaman kawan lain juga cukup 'seram'. Sang responden, seorang wanita
muda, saat diwawancari sering mengerlingkan matanya pada si kawan ini. Lebih
seram lagi, sang responden enggan menutup bagian atas tubuhnya dengan
pakaian normal. Hanya pakaian dalam dan selembar kain batik saja yang ia
kenakan selama wawancara itu.

Kegiatan penelitian lain ada yang jauh lebih 'menyenangkan'. Beberapa dari
kami yang cukup kompeten berbahasa Inggris direkrut untuk menemani beberapa
*volunteer *bangsa asing melakukan penelitian di sekitar Jakarta.
Pekerjaannya tidak terlalu berat, bisa berlatih bahasa asing dan honor yang
diberikan pun jauh di atas rata-rata yang diterima dari penelitian lain pada
waktu itu.

Pendek kata, kami cukup beruntung sering diminta bantuan oleh para dosen FKM
untuk membantu mereka melakukan penelitian di lapangan. Ini lebih membuka
mata kami dalam melihat berbagai permasalahan kesehatan masyarakat di
lapangan.

Dekat dengan dosen juga banyak dampak positifnya. Kala itu, komputer masih
barang mahal. MS Windows baru diluncurkan. Laser printer masih bisa dihitung
dengan jari di kampus FKM UI.

"Preventia", majalah kampus yang kami ciptakan, tentu memerlukan fasilitas
untuk membidaninya. Walau rental komputer (warnet dan internet belum dikenal
kala itu) adalah langganan kami untuk menulis artikel yang ada di dalamnya,
kocek mahasiswa kami kadang tidak memungkinkan untuk berlama-lama di sana,
apalagi menggunakan fasilitas 'canggih' untuk setting layout dan mencetaknya
ke dalam huruf-huruf yang nyaman dibaca. Untung waktu itu ada lab komputer
di FKM UI. Kami minta ijin dan diperkenankan menggunakannya untuk keperluan
Preventia. Kadang kami mencetak beberapa lembar kolom tulisan lewat laser
printer milik FKM UI untuk kemudian hasilnya dirangkai secara manual di
ruang senat mahasiswa.

#### bersambung #####

Cerita dari FKM UI # 3

Kelinci Percobaan, mungkin itulah padanan nasib kami sebagai angkatan pertama yang dididik di FKM UI langsung dari bangku SMA. Dalam empat tahun rencana pendidikan kami, kurikulum sempat berganti, padahal belum ada lulusan S1-4 yang dihasilkan FKM UI waktu itu. Hal inilah yang menjadikan kami agak masygul dan bertanya-tanya, hendak dibawa kemana kami ini.

Ibu Mardiati selaku KPS S1 lah yang selalu menjadi sasaran pertanyaan kami waktu itu. Mungkin bosan dan panas telinga ibu Mardiati kala itu mendengar protes dan gumaman setiap kali diadakan pertemuan antara KPS dengan mahasiswa. Tapi protes kami manusiawi adanya karena semuanya adalah menyangkut masa depan kami. Siapa lagi yang peduli pada masa depan kami kalau tidak kami sendiri?

Ibu Mardiati dan Ibu Merry menjadi duet yang selalu rajin 'mengopeni' (maaf bahasa jawa yang artinya kurang lebih 'merawat', atau 'melayani') kami. Ocehan dan omelan kami dengan sabar mereka terima. Itu sebabnya kedua sosok ini juga kemudian mendapat tempat tersendiri di hati kami dan khususnya saya sendiri. Ibu Mardiati bahkan seperti menjadi kakak sendiri, yang padanya tidak segan saya curhat atas masalah, harapan-harapan, dan juga pada aspek akademis. Maklum, beliau adalah orang yang mendalami bidang ekonomi kesehatan, dimana saya ikut menceburkan diri di dalamnya.

Semester demi semester berlalu dalam proses pendidikan kami. Kami pun kemudian mulai mendapat adik kelas yang masuk pada tahun-tahun berikutnya. Ha! Betapa bangganya bisa bergaya dengan jaket kuning di hadapan adik-adik kelas kami yang sebagian besar cantik-cantik. Maklum, hanya pada angkatan kami perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki seimbang jumlahnya. Pada angkatan di bawah kami, FKM UI mulai condong lebih 'feminim', ditandai dengan lebih besarnya jumlah wanita dibandingkan dengan pria yang masuk menjadi mahasiswa baru.

Tapi pertanyaan yang sulit kami jawab muncul dari mereka. "Kak, nanti kalau sudah lulus, kami bisa kerja di mana?" Biasanya, jawaban kami adalah sekedar 'copy-paste' saja dari pernyataan dan penjelasan para petinggi fakultas. Depkes pasti membutuhkan tenaga-tenaga promotif dan preventif. Pimpinan Puskesmas harus mempunyai kualifikasi kesehatan masyarakat. Anda bisa jadi kepala Puskesmas.

Puskesmas dan Depkes adalah institusi yang setiap hari disebut di kelas-kelas. Kebanyakan isi kuliah merujuk pada kondisi yang ada di Puskesmas dan Depkes. Padahal, nyatanya, persentuhan kami dengan puskesmas adalah hanya sebatas menjadi pasien saja sewaktu kecil. Antrian di bangku panjang Puskesmas, suntikan stainless steel yang dipakai berulang kali oleh suster di Puskesmas, petugas kamar obat yang membagikan obat dari botol obat besar, dan jubelan pedagang mainan dan jajanan yang antri di depan puskesmas adalah hal yang ada dalam ingatan tentang Puskesmas.

Bagaimana mungkin kami bisa memimpin Puskesmas kalau pengetahuan kami hanya didapat dari kelas? Pertanyaan itu valid. Tapi bukankah dokter juga tidak pernah main-main di Puskesmas sebelumnya sebelum diturunkan menjadi kepala Puskesmas? Jadi, mestinya memang kami yang lebih punya kans.

Lucunya, sebagian besar dari kami malah tidak ingin jadi orang Puskesmas. Apalagi ketika pak Alex Papilaya mulai mengompori kami agar kreatif dan bersikap sebagai entrepreneur. Ada banyak lahan yang bisa digarap. Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah lahan hijau subur yang siap dirumputi, atau ditanami ulang dengan pokok tanaman lainnya. Kepala Puskesmas adalah satu alternatif dan jangan tutup kesempatan diri kita menjadi apapun yang kita maui.

Semester-semester awal kami lalui dengan kuliah di tiga tempat. Depok, Salemba dan Pegangsaan. Tempat favorit saya adalah kalau kuliah di Salemba dan Pegangsaan. Selain dekat dengan rumah, melihat mahasiswi fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang pergi kuliah dengan anggun mengenakan rok panjang membuat nyaman suasana. Beberapa dosen di FK UI yang memberikan materi juga sangat menyenangkan dan memberi ilmu yang sangat banyak. Diantara mereka, Prof. Iwan Darmansjah adalah salah seorang yang materi perkuliahannya mantap terpatri di benak saya.

Sayangnya, rasanya atmosfir di FK UI sangat kaku dan 'feodalistik'. Beda rasanya dengan di FKM UI dimana kita bisa dekat ngobrol dengan staf dan dosen di ruang mereka, makan bareng di kantin, atau bahkan kadang menumpang mobil dosen yang pulang ke arah Jakarta dari kampus UI Depok.

Sewaktu kami datang dulu kampus Depok masih berupa bangunan berusia muda yang masih gagah. Kantinnya dibuat menyerupai restoran cepat saji modern. Mejanya berbentu bundar dengan kursi yang diletakkan di sekelilingnya. Mushalla hanya berupa sebuah ruang kecil sederhana di samping kantin. Toilet hanya sedikit jumlahnya namun mencukupi kondisi saat itu dimana jumlah mahasiswa belumlah terlalu banyak. Tempat parkir masih sepi dari deretan mobil dan sepeda motor seperti yang dapat kita lihat saat ini.

Urusan mengisi perut di kampus tidak terlalu menyenangkan. Menunya kadang membosankan dengan harga yang relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan makanan di warung-warung pinggir jalan Margonda.

Ada satu warung sederhana yang menjadi alternatif tempat makan siang kami di kampus. Lokasinya ada di jalan setapak kecil antara tanah kosong di samping kampus FKM dengan persawahan di samping kampus Fakultas Politeknik ketika itu. Penjualnya sepasang suami istri dengan dua orang anaknya balitanya yang dibiarkan bermain di semak belukar sekitarnya. Menu yang tersedia sederhana sekali, sayur daun singkong atau sayur nangka, telur goreng atau telur balado, tempe goreng, ayam goreng, dan beberapa lauk lainnya. Nasinya pun pera karena berasal dari jenis beras murah. Walau sangat sederhana, kami senang makan di situ. Suasanya santai dan nyaman, siliran angin menghembus diantara tanaman, perdu bambu, dan air kolam ikan yang ada di dekatnya.

Kalau ada waktu, kami kadang main ke kampus fakultas lain untuk numpang makan dan menikmati pemandangan lain. Kantin 'Balsem' FISIP dan Sastra adalah tempat yang cukup menarik dan mempunyai variasi menu makanan yang dijajakan.

Halangan utama untuk bepergian ke tempat lain adalah hawa panas kampus Depok serta kurangnya fasilitas transportasi dalam kampus. Di awal digunakannya kampus UI Depok, jumlah pepohonan masih sedikit dan pepohonan yang sudah ada belumlah cukup besar untuk dapat menaungi kami berjalan di bawah rimbunan daunnya. Kalau matahari terik bersinar, malas sudah kami untuk pergi ke tempat lain. Cukup di kampus FKM saja.

Bapak Surono yang waktu itu menjabat sebagai ketua KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) suatu waktu menyumbangkan ribuan batang bibit untuk ditanam di seantero kampus, termasuk juga di areal FKM. Di depan auditorium diadakan acara kecil dimana petinggi-petinggi fakultas menanam secara simbolis bibit tersebut yang diserahkan oleh bapak Surono. Waktu itu saya turut aktif membantu menanam (bukan memacul – nggak kuat) bibit-bibit yang ada ke dalam lubang dan mengubur akarnya dengan tanah yang tersedia. Bibit-bibit inilah yang sekarang bisa kita lihat sebagai pepohonan rindang di sekeliling FKM UI, termasuk diantaranya 'taman Mangga' dan pohon-pohon rindang di muka gedung A/samping ruang Satpam.

Waktu senggang di kampus FKM yang waktu itu sepi kadang kami manfaatkan dengan bernyanyi. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau tim gabungan mahasiswa FKM UI yang diisi oleh mahasiswa dari varian S1-2 dan S1-4 pernah menjuarai kejuaraan paduan suara Fesparumkit (Festival Paduan Suara Rumah Sakit) yang juga diikuti oleh institusi-institusi kesehatan & pendidikan kesehatan lainnya. Kalau tidak salah, piala dan fotonya dulu terpajang di atas kotak katalog buku di ruang perpustakaan.

Cerita dari FKM UI # 2

Sudah lebih dari 15 tahun yang lalu program S1-4 dimulai di FKM UI. Beberapa dosen yang pernah mengajar kami sudah tiada, mereka adalah pak Hertonobroto, pak PMH Sinaga, dan pak Fahmi D. Saifuddin. Semuanya adalah pengajar spesial di mata kami.

Pak Hertonobroto adalah sosok sederhana yang menjadi sosok ideal pengajar di kelas. Jarang sekali beliau tidak datang pada jadwal perkuliahannya. Semua bahan sudah disiapkannya sebelum masuk ke dalam kelas. Iapun mengajar dengan sabar sesuai dengan kemampuan siswanya.

Pak Sinaga adalah sosok pengajar yang bersemangat dalam mengajar, dalam aksen bahasanya yang khas dari Sumatera Utara. Kawan-kawan kami yang kebetulan berasal daerah yang sama tidaklah dapat menyaingi gaya bicaranya yang kental.

Pak Fahmi D. Saifuddin, adalah sosok yang sangat istimewa. Dengan kesederhanaan dan pandangan-pandangan hidupnya, ia memberi warna pada saya pribadi. Suatu sore, di Masjid UI, saya berjumpa dengan beliau seusai shalat Maghrib. Walau ia sudah penat seharian mengajar di FKM UI, ia masih menyempatkan diri memberikan wejangan-wejangannya pada saya. Padahal saya bukan siapa-siapa, hanya seorang mahasiswa 'bau kencur' yang bukan siapa-siapa beliau. Saya hanya salah satu dari ratusan mahasiswa yang beliau ajar.

Sore itu, ia mengobarkan semangat pada saya dengan kata-katanya yang lembut namun tajam. Tanpa nada menyombongkan diri, beliau bercerita bahwa dirinya pertama kali menjadi dekan FKM UI pada usia 30-an. Umur yang tidak berbeda terlalu jauh dengan usia saya waktu itu. Maksud perkataan beliau adalah bahwa kalau kita mau melakukan sesuatu, dan ikhlas melakukannya, maka pasti ada jalannya.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Dekan, beliau kemudian ikut berkiprah di kantor Menko Kesra. Saya pernah 'sowan' pada beliau di kantornya itu untuk meminta arahannya pada pilihan profesi saya kelak setelah lulus dari FKM UI.

Kebetulan jalan hidup menentukan bahwa pasangan hidup saya adalah salah seorang kerabat beliau. Ketika beliau saya minta menjadi saksi pernikahan saya, walaupun sangat sibuk, beliau menyempatkan diri untuk menghadiri, menyaksikan, dan menandatangani buku nikah saya dan istri.

Pada masa-masa akhir kehidupannya, walaupun sakit, beliau tidak ingin sakitnya diketahui banyak orang. Kolega-kolega di FKM UI sangat mengharapkan beliau dapat memperoleh gelar Doktor dari Universitas Indonesia. Namun sayang, belum sempat niat baik itu terlaksana, beliau sudah dipanggil Allah kembali ke haribaanNya.

Cerita dari FKM UI # 1

Sewaktu pertama kali melangkahkan kaki menuju gedung FKM UI di depok pada pertengahan tahun 1989, saya tidak tahu mau jadi apa saya kelak. Apa isi bangunannya, siapa orang-orangnya, dan apa ilmu yang diajarkannya. Hanya keyakinan bahwa tidak sembarang ilmu diajarkan dan tidak sembarang orang bisa mengajar di Universitas Indonesia-lah yang menguatkan langkah saya masuk ke kampus FKM UI.

Pak Fahmi Saifuddin, dekan FKM UI di tahun itu, menyambut kami serta memberikan gambaran besar tentang kesehatan masyarakat secara umum. Kelak di kemudian hari saya kerap 'dikuliahi' pak Fahmi secara pribadi, tentang kesehatan masyarakat, tentang profesi, dan juga tentang kehidupan ini. Beliaulah yang memberi saya arahan untuk bekerja dengan semangat dan sepenuh hati, Insya Allah imbalan materi akan mengikuti.

Kemudian saya mulai berkenalan dengan para mahasiswa baru lainnya yang kemudian juga menjadi sahabat-sahabat baik saya sampai hari ini. Diantaranya pak Ede, Husein, Kurniawan, Bian, Yayuk/Uke, Sholikhin, Irna Dhiana dan Deddy Dharmawan. Bahkan pasangan hidup saya saat ini juga kebetulan saya kenal sewaktu proses pendidikan di FKM UI. Ada pula sahabat-sahabat yang berasal dari program S1-2 yang waktu itu menjadi penghuni utama gedung FKM UI. Ada pak Pribadi yang kapten angkatan darat, bang Jamalul Insan yang sekarang kerja di RCTI, bang Made, dan banyak sahabat-sahabat lain yang kebetulan usianya lebih tua dari kami para lulusan SMA waktu itu.

Beberapa waktu setelah perkuliahan dimulai, saya mulai tahu dan paham tentang kesehatan masyarakat dan FKM UI. Saya pun mulai senang dengan sebagian besar para pengajarnya dan topik yang diajarkannya. Ada juga sih beberapa pengajar dan mata ajaran yang agak sia-sia, tapi semuanya saya coba jalani dengan nikmat saja.

Mendengar kuliah ibu Merry dan ibu Adik Wibowo yang menggebu-gebu, mencermati metodologi pak Suprijanto Rijadi dan pak Anhari Achadi, serta mencerna metode statistik yang diajarkan pak Budi Utomo, pak Toha Muhaimin, ibu Sabarinah Prasetyo, dan ibu Luknis Sabri, semuanya memberikan keasyikan tersendiri pada saya dalam mengisi hari-hari sebagai mahasiswa di FKM UI.

Pak Sudjana Djatiputra, pak Bukhari Lapau, ibu Nuning Masjkuri, ibu Ratna Djuwita, pak Nasrin Kodim dan pak Syahrizal Syarief bahu membahu memberikan materi epidemiologi. Mulai dari cerita tentang John Snow sampai dengan epidemiologi penyakit degeneratif beruntutan dicurahkan pada kami mahasiswa untuk direkam dalam ingatan.

Belakangan ruang otak kami mulai diisi oleh materi-materi tentang kemasyarakatan, sosiologi dan psikologi yang diberikan oleh pak Sukidjo Notoatmodjo, ibu Sudarti, pak Hadi Pratomo, pak Zulasmi Mamdy, ibu Rita Damayanti dari jurusan (kini departemen) PKIP. Pak Syafri Guricci, ibu Endang Anhari, dan pak Kusdinar Ahmad kemudian memberikan pula masukan ilmu tentang aspek nutrisi pada kesehatan masyarakat. Pak Made Djaja, pak Umar Fahmi, dan ibu Agustin, memberikan khasanah pentingnya aspek lingkungan pada kesehatan masyarakat. Kemudian pak Izhar Fihir, pak Zulkifli Junaidi, pak Ridwan Sjaaf, dan pak Roosdilan menyampaikan aspek kesehatan kerja pada kami.

Sejak awal kami diberikan arahan oleh para pengelola fakultas dan staf pengajarnya bahwa kami diarahkan untuk mengisi segmen kegiatan promotif, preventif, dan managerial dari pelayanan kesehatan Indonesia. Bentuk jelasnya tentang profesi kami belumlah dapat kami bayangkan dengan pasti. Namun demikian, periode perkuliahan kami alami dengan senang hati, penuh canda dan gurau.

Ibu Merry adalah "wali kelas" kami waktu itu. Beliau dengan senang hati mendengar segala keluh kesah kami tentang FKM UI, proses pendidikan dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya. Yang paling sering menerima kritik kami adalah Ketua Program Studi S1-4 yang saat itu dijabat oleh ibu Mardiati Nadjib. Saya kebetulan menjadi ketua angkatan '89 dimana saya menjadi pengemban amanah teman-teman untuk menyampaikan hal-hal yang kami anggap tidak tepat dan kurang sreg pada ibu Mar. Untungnya ibu Mar menghadapi kritik-kritik kami dengan senyum dan langkah yang konstruktif.

Waktu yang tersisa di luar kuliah dan mengerjakan tugas-tugas akademik kami gunakan dengan melakukan berbagai macam kegiatan. Kami mulai aktif di senat mahasiswa, dengan berbagai kegiatannya. Sebagian dari kami mulai aktif pula di kegiatan tingkat universitas.

Untuk lebih mengenalkan keberadaan FKM UI, kami berinisiatif mengadakan lomba gerak jalan bagi siswa SMA di Jakarta dan Depok, yang rutenya melewati kampus FKM UI. Kami pun membuat sebuah media cetak kampus yang diberi nama "PREVENTIA", sesuai dengan misi utama kami dicetak sebagai agen-agen preventif dan promotif sektor kesehatan.

Untuk menyalurkan hasrat idealisme, beberapa dari kami membuat sebuah Kelompok Studi Mahasiswa FKM UI. Waktu itu, kami mengangkat Pak Suprijanto Rijadi sebagai pembimbing tidak resmi kelompok ini. Dimulai dari proyek penelitian "KB di daerah kumuh", diteruskan dengan beberapa proyek2 penelitian milik dosen-dosen, dan juga diskusi-diskusi internal kelompok ini tentang masalah-masalah kesehatan.

Silat Perisai Diri (dibawah "suhu" pak Budi Haryanto) pernah meramaikan hari-hari sore di ruang bawah aula FKM UI. Saya pribadi kemudian aktif pula membentuk Kelompok Peminat Fotografi FKM UI.

Dekan pengganti pak Fahmi, pak Kemal Siregar, sangat dekat dengan kami. Bahkan pada suatu sore beliau mendatangi kami aktifis kampus FKM yang kebetulan sedang kelaparan dan beliau memberikan sejumlah uang untuk membeli gorengan penawar lapar. Betapa baiknya beliau pada kami.

22 June 2005

Berhaji ala Jamaah Inggris (4) - Mabrurkah Haji kita?

Bagian 4 :

Mekah- Madinah - Jedah - London

Saya terbangun di sore hari setelah badan tertidur pulas akibat letih berjalan dari Mina ke penginapan kami di Mekah hari itu. Sudah selesaikah saya menjalankan perintah Allah rukun Islam yang kelima? Sudah hajikah saya?

Alhamdulillah, semua rukun dan wajib haji sudah kami jalani. Mulai dari bersiap ihram, berniat, menjauhi larangan ihram, berumrah, wukuf, melontar jumrah, dan bertahalul sudah kami jalani semua. Karena kami mengambil haji Tamattu (umrah dahulu baru berhaji) kami pun sudah membayarkan dam berupa menyembelih seekor hewan kurban, yang pelaksanaannya kami percayakan pada tuan rumah kami selama di Mekah. Tinggal kami pasrah dan ridha bagaimana Allah memberi penilaian kami melaksanakan ibadah haji. Tidak ada seorangpun yang bisa menilainya, kecuali Ia semata.

Sebelum berangkat, banyak orang mendoakan agar haji kami Mabrur adanya. Mabrur dalam arti bahwa ibadah kami diterima Allah dan kemudian kami selalu berusaha meningkatkan keimanan, takwa dan ibadah kami pada Allah lebih dari saat kami belum berangkat haji. Semua itu tentu saja dalam rangka mengejar janji Rasulullah SAW "Haji mabrur itu, tidak ada balasan baginya melainkan surga".

Jadwal kami setelah selesai wukuf, mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontar jumrah adalah pergi ke Madinah untuk shalat di Masjid Nabawi, Masjid Quba, serta menziarahi tempat-tempat bersejarah lain di kota Madinah. Namun kami masih mempunyai beberapa hari luang di Mekah, yang kemudian kami manfaatkan untuk shalat, mengaji, dan i'tikaf di Masjidil Haram.

Bahkan, kami masih menyempatkan diri pergi ber-umrah sekali lagi. Kali ini kami melakukannya dengan mengambil Miqat dari masjid Tan'im persis luar tanah Haram. Kali ini umrah kami jauh lebih lancar karena kami sudah terbiasa mengenakan pakaian ihram, dan sudah hapal lika-liku Masjidil Haram. Umrah ini kami niatkan untuk memperbaiki hal-hal yang kurang dari pelaksanaan umrah dan haji tamattu kami kemarin. Ada juga anggota jamaah kami yang berumrah karena dimintakan oleh sahabatnya, untuk menggantikannya yang tidak bisa pergi berumrah dan haji tahun ini.

Kami pun menyempatkan diri berdoa di tempat yang mustajab di Masjidil Haram, yaitu di Multazam (tempat antara pintu Ka'bah dan Hajar Aswad). Karena masih padatnya suasana pada hari-hari tersebut, kami tidak bisa terlalu mendekati tempat itu, sehingga kami shalat dan berdoa di area yang menghadap Multazam, di tempat yang aman dan tidak mengganggu orang lain yang juga beribadah.

Hingga tiba tanggal 14 Dzulhijjah (5 Pebruari 2004), dimana kami akan meninggalkan Mekah menuju Madinah. Sebelum berangkat, kami berangkat ke masjidil Haram untuk Tawaf Wa'da (perpisahan). Tawaf ini relatif lebih mudah dibandingkan dengan tawaf-tawaf kami sebelumnya. Kelenggangan tempat tawaf di lantai dasar Masjidil Haram membuat kami mempunyai kesempatan untuk mendekati bangunan Ka'bah dan menikmati keanggunannya. Namun demikian, tempat-tempat mustajab seperti Multazam, pintu Ka'bah dan Hajar Aswad, tetap dipenuhi oleh jamaah yang ingin mendekatinya. Kamipun tidak terlalu memaksakan diri mendekati tempat-tempat tersebut.

Rasanya berat hati kami untuk meninggalkan Masjidil Haram, dan melihat rumah Allah untuk terakhir kalinya. Walau niat hati dan doa kami terpanjatkan agar kami dapat kembali lagi bersimpuh di depan Ka'bah diwaktu mendatang, namun hanya Allah-lah yang tahu berapa panjang kesempatan kita hidup di dunia ini. Mungkin saja inilah kesempatan terakhir kami untuk melihat rumah Allah secara langsung.

Setelah itu, kami bersiap dan berkemas, sambil saling mencatat alamat dengan jamaah lain di luar rombongan kami yang juga tinggal di penginapan yang sama. Siapa tahu persaudaraan kami selama ini dengan mereka dapat terus disambung di tanah air, walaupun kami masih harus kembali berjuang di Inggris dulu sebelum bisa berkiprah kembali di tanah air. Foto-foto pun diambil sebagai bahan yang mudah-mudahan bisa membawa kenangan kami kembali ke masa kami di Mekah ini.

Sore hari, berangkatlah seluruh rombongan kami dengan kendaraan sewaan ke kantor maktab, untuk mengurus paspor dan surat jalan bagi kami. Setelah urusan di sana beres, kami pergi ke stasiun bus untuk pergi ke Madinah dengan kendaraan yang disiapkan pemerintah Arab Saudi.

Rombongan kami yang 16 orang ternyata digabung dengan jamaah lain dari berbagai negara. Di atas bus, kami dibagikan air Zamzam yang dimasukkan dalam botol air mineral secara gratis. Alhamdulillah, ini bisa dipakai sebagai 'back up' persediaan air Zamzam yang sudah kami masukkan ke dalam beberapa jerigen.

Perjalanan ke Madinah terasa cukup nyaman, walaupun mengambil waktu lebih dari 6 jam. Tak dinyana kami ternyata menghadapi masalah di terminal penerimaan jamaah Haji di Madinah. Sewaktu kami tiba di sana sekitar pukul 8 pagi, sudah ada puluhan bahkan ratusan bus yang parkir di sana menunggu selesainya pengurusan paspor serta surat jalan. Kamipun terpaksa menunggu di dalam bus selama pengurusan administrasi tersebut. Saya pribadi memanfaatkan waktu itu untuk tidur karena memang tidak ada yang bisa dikerjakan di dalam bus selain tidur.

Setelah selesai shalat Jumat yang diadakan di terminal bus itu, barulah kami mendapatkan clearance untuk pergi ke penginapan kami. Itu berarti untuk urusan administratif paspor saja kami harus menunggu hampir 6 jam lamanya.

Kota Madinah dilihat dari atas bus jauh berbeda dari kota Mekah. Kota itu terasa lebih sejuk, baik dari sisi iklim maupun dari cara kehidupan penduduknya. Pemandangan kota ini didominasi oleh menara masjid Nabawi, dan kuburan Baqi yang ada di sampingnya. Di sekeliling masjid Nabawi berdiri hotel-hotel yang tertata jauh lebih rapi bila dibandingkan dengan kota Mekah.

Penginapan kami adalah sebuah hotel kecil di ujung jalan kecil yang penuh disesaki toko-toko yang menjual berbagai produk. Berbelanja di Madinah sangatlah mudah, karena hampir seluruh pedagang dapat berbahasa Indonesia, minimal dapat mengerti angka-angka dalam bahasa Indonesia. "Lima real, murah" adalah kata-kata yang akrab di telinga kami. Bahkan petugas di sebuah money changer adalah orang Indonesia yang dengan ramah melayani kami menukar mata uang poundsterling ke Saudian Riyal. Beruntunglah kami yang berangkat dari Inggris karena sekarang ini mata uang Poundsterling sedang menguat tinggi kurs-nya bila dibandingkan dengan dolar Amerika atau mata uang lainnya. Jadi dengan uang yang relatif sedikit (untuk ukuran Inggris) kami bisa berbelanja banyak, atau jajan makanan di restoran dengan biaya yang menurut kami murah sekali. Bayangkan saja, semangkuk bakso ala Indonesia di Madinah dihargai sebesar 5 real, dan itu bila dikurskan nilainya hanya kurang dari 1 poundsterling. Di Inggris, mana bisa kami beli makanan enak siap santap dengan uang sebesar 1 poundsterling?

Berbagai makanan Indonesia bisa kami dapatkan di tempat yang tidak terlalu jauh dari masjid Nabawi. Perjalanan kami pergi haji ini memang serasa bagaikan tetirah berwisata ke luar kota untuk menikmati makanan yang sangat sulit dirasakan di Inggris. Sop kaki kambing, gule, rendang, sate, bakso, dan bahkan tempe goreng dapat dengan mudah dinikmati di Madinah ini. Bahkan kami memaksakan diri untuk dapat membawa beberapa potong tempe segar, bahan sayur asam, dan bakso berdaging halal beku untuk dibawa kembali ke Inggris. Maklum, makanan seperti itu di Inggris adalah sebuah kenikmatan lezat yang sulit dicari di toko manapun.

Tujuan utama kami di Madinah adalah beribadah di masjid Nabawi, berziarah ke makam Rasulullah, dan tempat-tempat lainnya. Alhamdulillah, letak hotel kami yang tidak terlalu jauh dari masjid sangat membantu mudahnya proses kami berangkat ke masjid setiap masuk waktu shalat wajib.

Bila kita berada di dalam masjid Nabawi, kesejukan dan keramahan masjid itu sangatlah terasa. Kesejukan yang terpancar bukan saja berasal dari sarana penyejuk udara yang dipasang integrated di tiang-tiang masjid, tapi juga dari desain bangunan dan atmosfir di dalam masjid itu sendiri. Petugas masjid juga sangat ramah dan efisien menjalankan tugasnya mengatur jamaah agar semua mendapatkan tempat untuk shalat di masjid itu.

Di dalam masjid terdapat kawasan yang disebut Raudhah, yaitu tempat yang saat ini diberi batas berupa kain putih di dekat tempat imam memberikan khutbah. Sebenarnya, lokasi Raudhah adalah di antara makam Rasulullah dengan mimbar masjid, yang luas areanya tidaklah begitu besar. Tempat itu pernah disebut Rasulullah sebagai bagian dari taman yang ada di Surga. Karena itu, dekorasi di sekitar tempat itu dihiasi oleh motif bunga yang berwarna sejuk, dengan karpet berwarna putih kecoklatan yang berbeda dengan kawasan lain di masjid Nabawi.

Raudhah tidak pernah sepi dari orang yang ingin shalat dan berdoa di dalamnya. Walau berdesak-desak dan antri menunggu tempat sedikit longgar untuk dapat shalat di dalamnya, banyak orang tetap bersikeras untuk dapat masuk ke tempat itu. Memang jika kita shalat di dalamnya, hati terasa damai, seakan kita berada dekat sekali dengan Rasulullah, di taman yang dijanjikan Allah sebagai balasan orang-orang yang beriman pada-Nya.

Keluar dari Raudhah, kita akan melewati ruangan berwarna hijau yang merupakan makam Rasulullah Muhammad SAW, beserta dua orang khulafaur rasyidin sahabat nabi yaitu Abu Bakar RA dan Umar bin Khatab RA. Di sana jamaah mengucapkan salam kepada Rasulullah, dan juga kepada kedua sahabatnya. Assalamu'alaika ayyuhannbiyyu warahmatullahi wabarakatuh. Salam sejahtera dan rahmat Allah semoga dilimpahkan padamu ya Rasulullah. Assalamu'alaika ya Abu Bakr, Assalamu'alaika ya Umar.

Selepas shalat Subuh, pintu kuburan Baqi di sisi masjid Nabawi dibuka, dan kami dapat berziarah ke sana. Mungkin sudah jutaan orang yang dikuburkan di sana sejak dari zaman Rasulullah SAW, termasuk khalifah Usman, para istri Rasulullah, dan kerabat-kerabat lainnya. Di sana dikebumikan pula jenasah orang yang meninggal di Madinah selama musim haji. Dengan ziarah kubur, kita bisa lebih menghayati bahwa akhir kehidupan manusia adalah kematian, jasad yang kita tinggalkan akan hancur di dalam tanah kembali menyatu dengan asal mula jasad kita.

Ziarah ke Masjid Quba, juga sangat disarankan untuk dilakukan sewaktu kita di berada di Madinah. Masjid Quba adalah masjid pertama yang didirikan oleh Rasulullah SAW. Masjid ini sedemikian pentingnya sehingga Rasulullah bersabda bahwa orang yang berniat berwudhu dari rumahnya, dan pergi shalat di masjid Quba, pahalanya akan setara dengan pahala orang yang mengerjakan umrah. Bahkan masjid ini juga disebutkan dalam Al Qur'an sebagai masjid yang dibangun berdasarkan Takwa (QS 9:108).

Tempat lain yang bersejarah dalam Islam adalah masjid Qiblatain, yaitu tempat ketika Rasulullah mendapat wahyu dari Allah untuk memindahkan arah kiblat dari masjidil Aqsa di Palestina ke masjidil Haram di Mekah. Untuk itu masjid itu diberi nama masjid Qiblatain yang berarti masjid dengan 2 kiblat.

Di dekat kota Madinah juga terletak bukit Uhud, tempat dimana perang Uhud terjadi, dimana kemenangan pasukan muslim yang sudah di depan mata dapat hilang karena ketamakan untuk mendapat harta rampasan perang. Di sisi lain dari kota Madinah terdapat tempat perang Khandak (parit), yang mungkin kita pernah mendengar cerita penghianatan kaum Yahudi Madinah terhadap Rasulullah SAW sehubungan dengan perang itu.

Demikianlah, waktu 3 hari di kota Madinah kami manfaatkan sebaik-baiknya untuk beribadah di masjid Nabawi, berziarah, serta tak lupa membeli oleh-oleh untuk teman-teman di Inggris dan Indonesia. Terbayang di benak kami teman-teman dari berbagai bangsa di kota kami yang turut memperhatikan dan mendoakan keberangkatan kami beribadah Haji. Perhatian ini bahkan muncul pula dari tetangga dan teman-teman kami yang bukan beragama Islam. Bahkan seorang tetangga saya warga negara Israel sangat antusias atas keberangkatan kami berhaji. Oleh-oleh itu kami niatkan untuk mereka nanti, sebagai tanda terima kasih kami atas perhatian dan bantuan mereka kepada keluarga kami.

Semua sahabat di Inggris menawarkan berbagai bantuan pada kami, mulai dari menjaga dan mengantar sekolah kedua anak kami yang terpaksa ditinggal di rumah karena tidak mungkin diajak serta ke tanah Arab, sampai pada tawaran untuk membelikan belajaan di supermarket secara rutin. Kebetulan ibu mertua saya sanggup datang sendirian dari Indonesia ke Inggris, khusus untuk menjaga anak-anak di rumah. Upaya orang tua yang kami muliakan ini sangatlah patut dihargai, karena ini adalah kali pertama beliau tinggal di negeri asing, apalagi di musim dingin, untuk menjaga kedua anak kami yang masih kecil-kecil yang sedang senang-senangnya memamerkan kemampuan mereka berbahasa Inggris bahkan pada neneknya sendiri.

Teman-teman lain saya mintakan untuk dapat bergiliran tinggal di rumah kami untuk membantu ibu mertua saya itu menjaga rumah dan kedua anak kami. Kebaikan teman-teman itu rasanya sulit diukur dengan nilai duniawi. Semoga Allah dapat membalas kebaikan hati semuanya, dan dapat memberikan rejeki dan umur yang cukup bagi mereka untuk memenuhi panggilan-Nya pergi haji.

Kami sangat bersyukur karena telah dapat memenuhi perintah Allah sekali seumur hidup ini dikala usia kami masih muda, kondisi fisik mencukupi, dan kemudahan waktu yang relatif mudah diatur. Terbayang kesulitan yang kami lihat dari banyak jamaah haji yang berangkat di waktu umur sudah tidak muda lagi, menjalankan ibadah haji yang banyak menuntut kekuatan fisik. Kesibukan saya sebagai mahasiswa riset juga mudah diatur dengan pembimbing di kampus. Pekerjaan part-time saya di sebuah nursing home bagi penyandang cacat mental dan pekerjaan istri saya di sebuah rumah sakit dapat pula dimintakan cuti dengan mudah.

Hingga tiba saatnya kami harus meninggalkan Madinah menuju Jedah, untuk kembali ke London dengan Egypt Air. Dengan bus pemerintah Saudi kami berangkat ke Jedah, dan kali ini tidak terlalu banyak hambatan yang kami rasakan. Hal terberat mungkin adalah sempitnya kursi di bus ini relatif dengan bus-bus terdahulu yang pernah kami tumpangi.

Kami pun sampai di terminal haji Jedah hari Senin, 18 Dzulhijjah atau 9 Pebruari 2004. Karena kami sampai di airport 6 jam lebih awal dari waktu keberangkatan pesawat, kami dialihkan untuk dapat naik pesawat yang berangkat lebih dahulu daripada yang tertera di tiket pesawat kami. Dengan tergesa-gesa kamipun memasukkan bagasi ke check in counter dan bergegas masuk ke boarding room.

Di bandara Cairo , kami harus transit selama lebih dari enam jam untuk menunggu pesawat ke Heathrow, London. Karena menunggu lama di airport, kami mendapat kesempatan dari Egypt air untuk menikmati keindahan Pyramid, Sphinx dan sungai Nil di kota Cairo. Alhamdulillah, niat hati hanya pergi berhaji, ternyata kami mendapat kesempatan berwisata gratis ke Pyramid Giza di Mesir yang tersohor ke seluruh dunia.

Akhirnya kami dapat meninggalkan kota Cairo menuju London, untuk kembali mengarungi kehidupan kami masing-masing di negeri orang. Anggota jamaah yang bekerja di Inggris akan kembali menempuh pekerjaannya, yang mahasiswa akan kembali menekuni buku-buku dan makalahnya. Saya sendiri harus kembali menekuni riset dan menuliskan hasilnya yang selama ini agak tertinggal dalam sisa waktu yang masih tersisa. Mohon doa agar kami dapat menyelesaikan segalanya dengan baik, dan kembali ke Indonesia untuk kembali berkiprah di bumi pertiwi.

Haji yang mabrur adalah impian kami, dan tentu pula impian setiap orang yang berangkat haji. Tiada harapan lain selain dari harapan agar keseluruhan ibadah kami diterima oleh Allah, dan kami menjadi Haji yang mabrur, yang akan terus beristiqamah menjalankan perintah Allah dan Rasulullah, serta menjauhi segala laranganNya. Insya Allah.


Selesai.