12 September 2005

Cerita dari FKM UI # 4

Saya sengaja tidak pernah menyebut nama dosen dengan nama gelarnya. Rasanya
tidak fair kalau pengajar yang lulusan kedokteran, kedokteran gigi, disapa
sebagai 'Dokter' sebelum namanya dan lulusan teknik disapa sebagai
'Insinyur', tapi lulusan sarjana hukum, sarjana psikologi, sarjana teknik,
atau sarjana kesehatan masyarakat tidak dipanggil sesuai dengan
kualifikasinya. Selain itu, pengunaan sapaan Bapak/Pak atau Ibu saya nilai
tidak mengurangi rasa hormat kepada yang disapa.

Hanya jika seseorang sudah mencapai gelar Professor sebagai pengakuan
tertinggi di bidang akademik saya kadang menyapa beliau dengan sebutan Prof
dibanding dengan hanya memanggil mereka dengan sebutan Bapak atau Ibu. Dalam
benak saya, biasanya seorang profesor adalah seseorang yang sudah mencapai
derajat keilmuan tertinggi di bidangnya dan juga mempunyai kearifan dalam
kehidupan.
Contoh ini saya lihat dari Prof Sukidjo Notoatmodjo dan Prof Does Sampoerno.
Keduanya dapat memberikan ilmunya pada mahasiswa secara sistematis dan
logis, dalam bahasa yang mudah dicerna, serta dapat mensarikan berbagai
fenomena dalam bidangnya menjadi benang merahnya saja. Mereka sama sekali
tidak menyombongkan diri dan dapat 'mengemong' junior-juniornya dengan baik.


Sewaktu kami kuliah, ada beberapa dosen muda yang bergabung dengan FKM UI.
Ada pula beberapa dosen yang baru saja pulang dari pendidikan di luar
negeri. Masih *fresh *dengan ide-ide dan ilmu yang mereka dapat di
universitas-universitas terkenal di luar negeri. Beberapa diantara dosen
muda ini kemudian menjadi dekat dengan kami.

Salah seorang diantara staf pengajar muda waktu itu adalah pak Budi
Haryanto. Walau belum pernah mengajar langsung, kami cukup dekat dengan pak
Budi. Setelah tahu bahwa beliau adalah seseorang dengan 'ilmu' bela diri
yang cukup mumpuni, kami pun meminta beliau untuk dapat mengajari kami
(secara gratis tentunya) di kampus FKM UI. Beliaupun setuju. Mulailah setiap
pukul 4 sampai 6 sore dalam dua kali seminggu di lobby bawah aula FKM UI
ramai dipenuhi teriakan 'gejuk kiri', 'samplok kanan', dan 'hening'….

Setelah lelah berlatih bela diri, kami harus mandi untuk menghilangkan letih
dan melenyapkan keringat serta bau badan. Sayangnya waktu itu fasilitas
untuk mandi di kampus tidak tersedia. Jadilah kami nongkrong di depan ember
dalam bilik toilet untuk mengguyurkan air ke tubuh kami. Kadang, kami minta
kebaikan hati anggota Satpam yang bertugas untuk menggunakan kamar mandi
khusus Satpam di pos keamanan sudut tempat parkir.

Dosen lain yang cukup dekat dengan kami adalah pak Zulasmi Mamdy. Beliau
pernah menjabat sebagai pembantu dekan III yang kebagian mengurus masalah
kemahasiswaan. Waktu itu kebetulan juga beliau adalah kepala laboratorium
Audio Visual jurusan PKIP. Tidak jarang kami meminta ijin beliau untuk
menggunakan fasilitas yang ada di dalamnya untuk kepentingan Senat
Mahasiswa. Pak Asril Nazar dan mas Daryono yang ketika itu menjadi teknisi
di sana dengan senang hati pula membagi ilmunya pada kami. Kamipun
sedikit-sedikit diperkenankan menggunakan kamera, editing suite, dan kamar
gelap untuk proses fotografi di laboratorium itu. Saat ada pementasan dalam
rangka mata kuliah Ilmu Budaya Dasar, editing musik untuk kelompok kami
dilakukan pula di laboratorium ini.

Pak Zulasmi juga kadang mengajak saya membantunya melakukan beberapa
kegiatan yang menyangkut fotografi. Senang rasanya bisa bergaul dekat dengan
dosen, membantu beliau, dan dibayar lagi!

Pada periode kedekanan berikutnya, pembantu dekan III diamahkan pada pak
Syahrizal Syarif. Beliau adalah sosok dosen muda yang enerjik. Di kelas
beliau dengan jelas dan menarik membawakan materi tentang epidemiologi. Di
luar kelas, beliau adalah sosok kakak yang siap membantu menjalankan
berbagai aktifitas kami. Tidak jarang beliau mengundang untuk mampir ke
rumah beliau di Depok untuk ngobrol-ngobrol atau berbuka puasa. Sungguh
sosok yang menyenangkan dan membanggakan.

Tidak semua dosen menyenangkan. Satu dua ada yang membosankan bahkan
menyebalkan. Ada seorang pengajar yang selama satu semester mengisi
pelajaran 2 SKS hanya memberikan materi itu-itu saja, yang selalu diulangnya
setiap sesi pelajaran! Ada pula pengajar yang tidak pernah mengajar
menghadap mahasiswa. Hanya papan tulis yang ditatapnya sepanjang jam
pelajaran. Tidak heran kalau satu demi satu penghuni kelas akan 'menghilang'
lewat pintu belakang. Di akhir waktu kuliah, hanya segelintir mahasiswa yang
tersisa di baris-baris kursi kelas.

Ada dosen yang sepanjang semester hanya masuk sebanyak tiga sesi
perkuliahan. Ada dosen yang duduk mencongkang di meja, sambil menyuruh kami
melakukan ini-itu. Ada juga dosen yang memberikan pelajaran yang sangat
membosankan sehingga salah seorang rekan kami tertidur duduk bertolak dagu
sampai pelajaran usai. Sang dosen bahkan sampai tidak tega membangunkannya
ketika kelas usai.

Kebanyakan dari kami senang 'bergaul' dengan dosen-dosen juga karena mereka
mempunyai banyak kegiatan selain mengajar di kelas, yang kadangkala
'disalurkan' kepada kami.

Suatu ketika ada 'proyek' pemetaan warung di Jakarta, untuk studi S3 salah
seorang dosen FKM UI. Sebagian dari kami diminta membantunya. Tentu saja
kami lakukan dengan senang hati. Maklum, selain menambah ilmu, uang yang
dihasilkannya pun lumayan. Proyek ini enteng-enteng berat. Tugas kami adalah
hanya mencari dan memetakan warung-warung yang diperkirakan menjual obat
diare. Kami berkeliling masuk keluar kampung di Cengkareng Barat, Bogor, dan
beberapa tempat lainnya. Kadang kala orang curiga ada serombongan anak muda
'celingak-celinguk' mencari warung di kampung orang. Kadang kami kehujanan
di tengah lika-liku jalan kampung. Kadang kami tersasar di daerah yang agak
'menyeramkan'.

Suatu waktu ada kegiatan survey yang dilakukan untuk mencari tahu pola dan
perilaku kesehatan reproduktif pada wanita usia produktif di daerah kumuh di
Jakarta. Kami mengunjungi daerah-daerah paling kumuh di Jakarta yang
dijadikan sasaran penelitian. Ada lokasi di Manggarai, Cengkareng,
Cilincing, Pulo Gadung, dan Tanah Abang. Banyak peristiwa menakutkan, lucu,
dan seru yang kami alami. Misalnya saja sewaktu saya mewawancarai seorang
gadis berusia 16 tahun yang tinggal di belakang terminal Pulo Gadung, sang
ayah yang duduk di ujung ruangan terus mengamati dengan tatapan tajam,
sembari terus mengiris bawang dengan pisaunya yang tajam. Maklum, sang ayah
adalah seorang tukang sate Madura yang curiga pada seorang pemuda yang
bertanya tentang hal-hal sensitif pada anak gadisnya.

Pengalaman kawan lain juga cukup 'seram'. Sang responden, seorang wanita
muda, saat diwawancari sering mengerlingkan matanya pada si kawan ini. Lebih
seram lagi, sang responden enggan menutup bagian atas tubuhnya dengan
pakaian normal. Hanya pakaian dalam dan selembar kain batik saja yang ia
kenakan selama wawancara itu.

Kegiatan penelitian lain ada yang jauh lebih 'menyenangkan'. Beberapa dari
kami yang cukup kompeten berbahasa Inggris direkrut untuk menemani beberapa
*volunteer *bangsa asing melakukan penelitian di sekitar Jakarta.
Pekerjaannya tidak terlalu berat, bisa berlatih bahasa asing dan honor yang
diberikan pun jauh di atas rata-rata yang diterima dari penelitian lain pada
waktu itu.

Pendek kata, kami cukup beruntung sering diminta bantuan oleh para dosen FKM
untuk membantu mereka melakukan penelitian di lapangan. Ini lebih membuka
mata kami dalam melihat berbagai permasalahan kesehatan masyarakat di
lapangan.

Dekat dengan dosen juga banyak dampak positifnya. Kala itu, komputer masih
barang mahal. MS Windows baru diluncurkan. Laser printer masih bisa dihitung
dengan jari di kampus FKM UI.

"Preventia", majalah kampus yang kami ciptakan, tentu memerlukan fasilitas
untuk membidaninya. Walau rental komputer (warnet dan internet belum dikenal
kala itu) adalah langganan kami untuk menulis artikel yang ada di dalamnya,
kocek mahasiswa kami kadang tidak memungkinkan untuk berlama-lama di sana,
apalagi menggunakan fasilitas 'canggih' untuk setting layout dan mencetaknya
ke dalam huruf-huruf yang nyaman dibaca. Untung waktu itu ada lab komputer
di FKM UI. Kami minta ijin dan diperkenankan menggunakannya untuk keperluan
Preventia. Kadang kami mencetak beberapa lembar kolom tulisan lewat laser
printer milik FKM UI untuk kemudian hasilnya dirangkai secara manual di
ruang senat mahasiswa.

#### bersambung #####

0 Comments:

Post a Comment

<< Home