12 September 2005

Cerita dari FKM UI # 3

Kelinci Percobaan, mungkin itulah padanan nasib kami sebagai angkatan pertama yang dididik di FKM UI langsung dari bangku SMA. Dalam empat tahun rencana pendidikan kami, kurikulum sempat berganti, padahal belum ada lulusan S1-4 yang dihasilkan FKM UI waktu itu. Hal inilah yang menjadikan kami agak masygul dan bertanya-tanya, hendak dibawa kemana kami ini.

Ibu Mardiati selaku KPS S1 lah yang selalu menjadi sasaran pertanyaan kami waktu itu. Mungkin bosan dan panas telinga ibu Mardiati kala itu mendengar protes dan gumaman setiap kali diadakan pertemuan antara KPS dengan mahasiswa. Tapi protes kami manusiawi adanya karena semuanya adalah menyangkut masa depan kami. Siapa lagi yang peduli pada masa depan kami kalau tidak kami sendiri?

Ibu Mardiati dan Ibu Merry menjadi duet yang selalu rajin 'mengopeni' (maaf bahasa jawa yang artinya kurang lebih 'merawat', atau 'melayani') kami. Ocehan dan omelan kami dengan sabar mereka terima. Itu sebabnya kedua sosok ini juga kemudian mendapat tempat tersendiri di hati kami dan khususnya saya sendiri. Ibu Mardiati bahkan seperti menjadi kakak sendiri, yang padanya tidak segan saya curhat atas masalah, harapan-harapan, dan juga pada aspek akademis. Maklum, beliau adalah orang yang mendalami bidang ekonomi kesehatan, dimana saya ikut menceburkan diri di dalamnya.

Semester demi semester berlalu dalam proses pendidikan kami. Kami pun kemudian mulai mendapat adik kelas yang masuk pada tahun-tahun berikutnya. Ha! Betapa bangganya bisa bergaya dengan jaket kuning di hadapan adik-adik kelas kami yang sebagian besar cantik-cantik. Maklum, hanya pada angkatan kami perbandingan jumlah perempuan dan laki-laki seimbang jumlahnya. Pada angkatan di bawah kami, FKM UI mulai condong lebih 'feminim', ditandai dengan lebih besarnya jumlah wanita dibandingkan dengan pria yang masuk menjadi mahasiswa baru.

Tapi pertanyaan yang sulit kami jawab muncul dari mereka. "Kak, nanti kalau sudah lulus, kami bisa kerja di mana?" Biasanya, jawaban kami adalah sekedar 'copy-paste' saja dari pernyataan dan penjelasan para petinggi fakultas. Depkes pasti membutuhkan tenaga-tenaga promotif dan preventif. Pimpinan Puskesmas harus mempunyai kualifikasi kesehatan masyarakat. Anda bisa jadi kepala Puskesmas.

Puskesmas dan Depkes adalah institusi yang setiap hari disebut di kelas-kelas. Kebanyakan isi kuliah merujuk pada kondisi yang ada di Puskesmas dan Depkes. Padahal, nyatanya, persentuhan kami dengan puskesmas adalah hanya sebatas menjadi pasien saja sewaktu kecil. Antrian di bangku panjang Puskesmas, suntikan stainless steel yang dipakai berulang kali oleh suster di Puskesmas, petugas kamar obat yang membagikan obat dari botol obat besar, dan jubelan pedagang mainan dan jajanan yang antri di depan puskesmas adalah hal yang ada dalam ingatan tentang Puskesmas.

Bagaimana mungkin kami bisa memimpin Puskesmas kalau pengetahuan kami hanya didapat dari kelas? Pertanyaan itu valid. Tapi bukankah dokter juga tidak pernah main-main di Puskesmas sebelumnya sebelum diturunkan menjadi kepala Puskesmas? Jadi, mestinya memang kami yang lebih punya kans.

Lucunya, sebagian besar dari kami malah tidak ingin jadi orang Puskesmas. Apalagi ketika pak Alex Papilaya mulai mengompori kami agar kreatif dan bersikap sebagai entrepreneur. Ada banyak lahan yang bisa digarap. Kesehatan Masyarakat Indonesia adalah lahan hijau subur yang siap dirumputi, atau ditanami ulang dengan pokok tanaman lainnya. Kepala Puskesmas adalah satu alternatif dan jangan tutup kesempatan diri kita menjadi apapun yang kita maui.

Semester-semester awal kami lalui dengan kuliah di tiga tempat. Depok, Salemba dan Pegangsaan. Tempat favorit saya adalah kalau kuliah di Salemba dan Pegangsaan. Selain dekat dengan rumah, melihat mahasiswi fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang pergi kuliah dengan anggun mengenakan rok panjang membuat nyaman suasana. Beberapa dosen di FK UI yang memberikan materi juga sangat menyenangkan dan memberi ilmu yang sangat banyak. Diantara mereka, Prof. Iwan Darmansjah adalah salah seorang yang materi perkuliahannya mantap terpatri di benak saya.

Sayangnya, rasanya atmosfir di FK UI sangat kaku dan 'feodalistik'. Beda rasanya dengan di FKM UI dimana kita bisa dekat ngobrol dengan staf dan dosen di ruang mereka, makan bareng di kantin, atau bahkan kadang menumpang mobil dosen yang pulang ke arah Jakarta dari kampus UI Depok.

Sewaktu kami datang dulu kampus Depok masih berupa bangunan berusia muda yang masih gagah. Kantinnya dibuat menyerupai restoran cepat saji modern. Mejanya berbentu bundar dengan kursi yang diletakkan di sekelilingnya. Mushalla hanya berupa sebuah ruang kecil sederhana di samping kantin. Toilet hanya sedikit jumlahnya namun mencukupi kondisi saat itu dimana jumlah mahasiswa belumlah terlalu banyak. Tempat parkir masih sepi dari deretan mobil dan sepeda motor seperti yang dapat kita lihat saat ini.

Urusan mengisi perut di kampus tidak terlalu menyenangkan. Menunya kadang membosankan dengan harga yang relatif lebih mahal bila dibandingkan dengan makanan di warung-warung pinggir jalan Margonda.

Ada satu warung sederhana yang menjadi alternatif tempat makan siang kami di kampus. Lokasinya ada di jalan setapak kecil antara tanah kosong di samping kampus FKM dengan persawahan di samping kampus Fakultas Politeknik ketika itu. Penjualnya sepasang suami istri dengan dua orang anaknya balitanya yang dibiarkan bermain di semak belukar sekitarnya. Menu yang tersedia sederhana sekali, sayur daun singkong atau sayur nangka, telur goreng atau telur balado, tempe goreng, ayam goreng, dan beberapa lauk lainnya. Nasinya pun pera karena berasal dari jenis beras murah. Walau sangat sederhana, kami senang makan di situ. Suasanya santai dan nyaman, siliran angin menghembus diantara tanaman, perdu bambu, dan air kolam ikan yang ada di dekatnya.

Kalau ada waktu, kami kadang main ke kampus fakultas lain untuk numpang makan dan menikmati pemandangan lain. Kantin 'Balsem' FISIP dan Sastra adalah tempat yang cukup menarik dan mempunyai variasi menu makanan yang dijajakan.

Halangan utama untuk bepergian ke tempat lain adalah hawa panas kampus Depok serta kurangnya fasilitas transportasi dalam kampus. Di awal digunakannya kampus UI Depok, jumlah pepohonan masih sedikit dan pepohonan yang sudah ada belumlah cukup besar untuk dapat menaungi kami berjalan di bawah rimbunan daunnya. Kalau matahari terik bersinar, malas sudah kami untuk pergi ke tempat lain. Cukup di kampus FKM saja.

Bapak Surono yang waktu itu menjabat sebagai ketua KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) suatu waktu menyumbangkan ribuan batang bibit untuk ditanam di seantero kampus, termasuk juga di areal FKM. Di depan auditorium diadakan acara kecil dimana petinggi-petinggi fakultas menanam secara simbolis bibit tersebut yang diserahkan oleh bapak Surono. Waktu itu saya turut aktif membantu menanam (bukan memacul – nggak kuat) bibit-bibit yang ada ke dalam lubang dan mengubur akarnya dengan tanah yang tersedia. Bibit-bibit inilah yang sekarang bisa kita lihat sebagai pepohonan rindang di sekeliling FKM UI, termasuk diantaranya 'taman Mangga' dan pohon-pohon rindang di muka gedung A/samping ruang Satpam.

Waktu senggang di kampus FKM yang waktu itu sepi kadang kami manfaatkan dengan bernyanyi. Mungkin tidak banyak yang tahu kalau tim gabungan mahasiswa FKM UI yang diisi oleh mahasiswa dari varian S1-2 dan S1-4 pernah menjuarai kejuaraan paduan suara Fesparumkit (Festival Paduan Suara Rumah Sakit) yang juga diikuti oleh institusi-institusi kesehatan & pendidikan kesehatan lainnya. Kalau tidak salah, piala dan fotonya dulu terpajang di atas kotak katalog buku di ruang perpustakaan.