Woro-woro Musibah Demam Berdarah
dan Dagelan Penanggulangannya
Surat terbuka untuk Menko Kesra dan Menteri Kesehatan RI
Saya tertawa, terbahak, dan tergelak ketika membaca di media massa tulisan tentang hasil rapat Kelompok Kerja Nasional Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilaksanakan di Departemen Kesehatan RI hari Jumat (5/3) yang lalu. Rapat tersebut mengundang para Gubernur dan kepala dinas kesehatan dari seluruh Indonesia, ditambah beberapa menteri dan pejabat terkait termasuk diantaranya Menko Kesra Jusuf Kalla.
Namun jangan salah sangka, tertawa saya kali ini bukanlah tertawa karena gembira tetapi lebih karena ungkapan sedih dan gundah.
Mestinya saya gembira karena pemerintah telah menyatakan akan memberikan dana penanggulangan DBD sebesar Rp 500 juta bagi setiap provinsi. Kenapa saya mesti sedih?
Pertama, dana yang diberikan hanya sebesar Rp 500 juta untuk setiap provinsi. Jika dalam satu provinsi ada 5 kabupaten/kota, maka dipukul rata setiap kabupaten/kota hanya akan mendapat Rp 100 juta. Uang sebesar itu tidaklah banyak! Bandingkan dengan biaya tiket, akomodasi, dan per-diem yang dikeluarkan untuk mengundang para gubernur dan kepala dinas kesehatan tersebut untuk datang ke Jakarta. Anggaran tersebut akan menjadi lebih kecil lagi bila jika hitung kemungkinan terjadi inefisiensi untuk ‘biaya administrasi’, ‘koordinasi’, ‘konsumsi rapat’ dan lain-lain. Lebih jauh lagi, ternyata dana yang diberikan pemerintah tersebut hanya diberikan pada provinsi yang dinyatakan terkena Kondisi Luar Biasa (KLB) saja.
Kedua, dana tersebut ditargetkan untuk dapat terealisasi dalam waktu tiga bulan. Jika benar dana tersebut keluar tiga bulan dari sekarang, mungkin dananya sudah akan kadaluarsa. Penyakit ini sudah akan menghilang dengan sendirinya. Apalagi dikatakan oleh Menko Kesra Jusuf Kalla bahwa anggaran ini hanya akan digunakan untuk upaya preventif. Adalah sangat tidak tepat melakukan upaya preventif penanggulangan DBD tiga bulan sekarang, yaitu dari pada awal musim kemarau. Upaya preventif khusus menanggulangi DBD selayaknya dilaksanakan pada awal atau pertengahan musim penghujan.
Ketiga, menteri kesehatan menyatakan “Jadi sampai bulan Agustus, mudah-mudahan saat itu sudah tidak ada lagi KLB". Ungkapan ini agak menggelikan untuk keluar dari seorang menteri kesehatan (yang juga seorang dokter), karena tanpa upaya apapun dari pemerintah, angka kejadian (insidens) demam berdarah akan turun dengan sendirinya setelah memasuki musim kemarau. Secara epidemiologis penyakit demam berdarah mencapai puncaknya pada akhir musim hujan dan akan menghilang dengan sendirinya pada musim kemarau. Sudah jelas bahwa bulan Agustus adalah musim kemarau jadi KLB demam berdarah juga pasti sudah tidak ada lagi. Kalau bulan Agustus masih ada KLB, maka itu akan benar-benar luar biasa!
Ketertawaan saya yang ironis ini terjadi karena upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi musibah ini terkesan tidak terburu-buru dan tidak profesional. Memang musibah ini memerlukan tindakan yang tanggap dan cepat karena kondisi musibah DBD saat ini yang sudah dikategorikan sebagai ‘darurat’, dan penanganannya berbeda dengan tindakan pencegahan yang diperlukan agar musibah ini tidak berulang lagi di masa depan.
Hal yang paling santer diberitakan adalah digratiskannya pengobatan dan perawatan penderita DBD jika dirawat di ruang rawat kelas III pada seluruh Rumah Sakit. Masalahnya apakah ini akan menjawab masalah? Penggratisan tentu saja akan meringankan beban ekonomi yang dirasakan penderita demam berdarah dan keluarganya, namun angka kejadian demam berdarah tidaklah bisa turun dengan upaya ini. Upaya ini lebih kental terlihat sebagai upaya politis untuk meredam kegelisahan masyarakat yang harus membayar sendiri semua pelayanan kesehatannya. Penggratisan ini juga terlihat tidak fair, karena yang digratiskan hanya penderita demam berdarah. Apa bedanya penyakit demam berdarah dengan penyakit lain? Mengapa yang digratiskan hanya demam berdarah?
Diberitakan pula di media massa bahwa pemerintah akan mengangkat juru pemeriksa jentik (Jumantik) untuk membantu mengatasi musibah DBD ini dengan memeriksa tempat perindukan nyamuk dari rumah-ke-rumah. Jumantik ini adalah pegawai honorer pemerintah yang akan ditempatkan di seluruh desa di Indonesia. Kebijakan ini rasanya belum pernah muncul dalam wacana kebijakan kesehatan sebelumnya, dan nampaknya tidak dipikirkan masak-masak. Pengangkatan Jumatik ini tentu saja akan membutuhkan biaya, padahal masih banyak kegiatan dan kebutuhan lainnya yang memerlukan pembiayaan untuk menjalankannya.
Sudah barang tentu Menteri Kesehatan mempunyai asisten, dirjen, peneliti, beserta seluruh stafnya yang berjumlah puluhan ribu di seluruh Indonesia. Namun tampaknya belum terlihat upaya yang maksimal dari departemen kesehatan untuk mendayagunakan potensi segenap pegawainya. Misalnya, saya yakin DepKes mempunyai badan LitBang dan pusat penelitian penyakit menular, tapi hasil nyatanya rasanya belum terlihat dengan jelas. Kalau kita berselancar di internet juga misalnya, informasi tentang demam berdarah lebih banyak kita dapatkan dari media massa daripada website resmi Departemen Kesehatan, atau website Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Depkes RI.
Musibah demam berdarah yang menimpa kali ini memang luar biasa. Penanganannya membutuhkan kerjasama mutlak dari seluruh lini pemerintahan dan juga warga masyarakat lainnya. Saya yakin bahwa sebenarnya banyak pihak yang mau membantu departemen kesehatan untuk mengatasi masalah ini. Saya tidak tahu apakah Depkes mempunyai kerja sama yang baik dengan pihak lain, Ikatan Dokter Indonesia misalnya, yang mempunyai jaringan anggota secara luas dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang sangat relevan dengan musibah ini. Atau dengan pihak Tentara Nasional Indonesia yang mempunyai personil yang relatif mudah digerakkan bila ada keperluan yang mendesak.
Rasanya sudah saatnya accountability pemerintahan yang sudah sering kita dengar secara umum diterapkan pada sektor kesehatan. Masyarakat ingin melihat dan sebenarnya dapat dengan mudah menilai sendiri upaya yang dilakukan pemerintah. Pemerintah mendapat amanah dari masyarakat untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh Republik ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Mudah-mudahan wartawan yang menulis berita yang diungkapkan di awal tulisan ini tadi salah mengutip perkataan dan menulis beritanya. Atau mungkin malah saya yang belum bangun ketika membaca berita tersebut lewat media online pagi tadi. Kalau ternyata berita itu benar dan akurat, mungkin video dagelan Srimulat yang ada di rumah tidak akan saya nyalakan lagi karena kalah lucu dibandingkan dengan berita di koran.
dan Dagelan Penanggulangannya
Surat terbuka untuk Menko Kesra dan Menteri Kesehatan RI
Saya tertawa, terbahak, dan tergelak ketika membaca di media massa tulisan tentang hasil rapat Kelompok Kerja Nasional Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) yang dilaksanakan di Departemen Kesehatan RI hari Jumat (5/3) yang lalu. Rapat tersebut mengundang para Gubernur dan kepala dinas kesehatan dari seluruh Indonesia, ditambah beberapa menteri dan pejabat terkait termasuk diantaranya Menko Kesra Jusuf Kalla.
Namun jangan salah sangka, tertawa saya kali ini bukanlah tertawa karena gembira tetapi lebih karena ungkapan sedih dan gundah.
Mestinya saya gembira karena pemerintah telah menyatakan akan memberikan dana penanggulangan DBD sebesar Rp 500 juta bagi setiap provinsi. Kenapa saya mesti sedih?
Pertama, dana yang diberikan hanya sebesar Rp 500 juta untuk setiap provinsi. Jika dalam satu provinsi ada 5 kabupaten/kota, maka dipukul rata setiap kabupaten/kota hanya akan mendapat Rp 100 juta. Uang sebesar itu tidaklah banyak! Bandingkan dengan biaya tiket, akomodasi, dan per-diem yang dikeluarkan untuk mengundang para gubernur dan kepala dinas kesehatan tersebut untuk datang ke Jakarta. Anggaran tersebut akan menjadi lebih kecil lagi bila jika hitung kemungkinan terjadi inefisiensi untuk ‘biaya administrasi’, ‘koordinasi’, ‘konsumsi rapat’ dan lain-lain. Lebih jauh lagi, ternyata dana yang diberikan pemerintah tersebut hanya diberikan pada provinsi yang dinyatakan terkena Kondisi Luar Biasa (KLB) saja.
Kedua, dana tersebut ditargetkan untuk dapat terealisasi dalam waktu tiga bulan. Jika benar dana tersebut keluar tiga bulan dari sekarang, mungkin dananya sudah akan kadaluarsa. Penyakit ini sudah akan menghilang dengan sendirinya. Apalagi dikatakan oleh Menko Kesra Jusuf Kalla bahwa anggaran ini hanya akan digunakan untuk upaya preventif. Adalah sangat tidak tepat melakukan upaya preventif penanggulangan DBD tiga bulan sekarang, yaitu dari pada awal musim kemarau. Upaya preventif khusus menanggulangi DBD selayaknya dilaksanakan pada awal atau pertengahan musim penghujan.
Ketiga, menteri kesehatan menyatakan “Jadi sampai bulan Agustus, mudah-mudahan saat itu sudah tidak ada lagi KLB". Ungkapan ini agak menggelikan untuk keluar dari seorang menteri kesehatan (yang juga seorang dokter), karena tanpa upaya apapun dari pemerintah, angka kejadian (insidens) demam berdarah akan turun dengan sendirinya setelah memasuki musim kemarau. Secara epidemiologis penyakit demam berdarah mencapai puncaknya pada akhir musim hujan dan akan menghilang dengan sendirinya pada musim kemarau. Sudah jelas bahwa bulan Agustus adalah musim kemarau jadi KLB demam berdarah juga pasti sudah tidak ada lagi. Kalau bulan Agustus masih ada KLB, maka itu akan benar-benar luar biasa!
Ketertawaan saya yang ironis ini terjadi karena upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi musibah ini terkesan tidak terburu-buru dan tidak profesional. Memang musibah ini memerlukan tindakan yang tanggap dan cepat karena kondisi musibah DBD saat ini yang sudah dikategorikan sebagai ‘darurat’, dan penanganannya berbeda dengan tindakan pencegahan yang diperlukan agar musibah ini tidak berulang lagi di masa depan.
Hal yang paling santer diberitakan adalah digratiskannya pengobatan dan perawatan penderita DBD jika dirawat di ruang rawat kelas III pada seluruh Rumah Sakit. Masalahnya apakah ini akan menjawab masalah? Penggratisan tentu saja akan meringankan beban ekonomi yang dirasakan penderita demam berdarah dan keluarganya, namun angka kejadian demam berdarah tidaklah bisa turun dengan upaya ini. Upaya ini lebih kental terlihat sebagai upaya politis untuk meredam kegelisahan masyarakat yang harus membayar sendiri semua pelayanan kesehatannya. Penggratisan ini juga terlihat tidak fair, karena yang digratiskan hanya penderita demam berdarah. Apa bedanya penyakit demam berdarah dengan penyakit lain? Mengapa yang digratiskan hanya demam berdarah?
Diberitakan pula di media massa bahwa pemerintah akan mengangkat juru pemeriksa jentik (Jumantik) untuk membantu mengatasi musibah DBD ini dengan memeriksa tempat perindukan nyamuk dari rumah-ke-rumah. Jumantik ini adalah pegawai honorer pemerintah yang akan ditempatkan di seluruh desa di Indonesia. Kebijakan ini rasanya belum pernah muncul dalam wacana kebijakan kesehatan sebelumnya, dan nampaknya tidak dipikirkan masak-masak. Pengangkatan Jumatik ini tentu saja akan membutuhkan biaya, padahal masih banyak kegiatan dan kebutuhan lainnya yang memerlukan pembiayaan untuk menjalankannya.
Sudah barang tentu Menteri Kesehatan mempunyai asisten, dirjen, peneliti, beserta seluruh stafnya yang berjumlah puluhan ribu di seluruh Indonesia. Namun tampaknya belum terlihat upaya yang maksimal dari departemen kesehatan untuk mendayagunakan potensi segenap pegawainya. Misalnya, saya yakin DepKes mempunyai badan LitBang dan pusat penelitian penyakit menular, tapi hasil nyatanya rasanya belum terlihat dengan jelas. Kalau kita berselancar di internet juga misalnya, informasi tentang demam berdarah lebih banyak kita dapatkan dari media massa daripada website resmi Departemen Kesehatan, atau website Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) Depkes RI.
Musibah demam berdarah yang menimpa kali ini memang luar biasa. Penanganannya membutuhkan kerjasama mutlak dari seluruh lini pemerintahan dan juga warga masyarakat lainnya. Saya yakin bahwa sebenarnya banyak pihak yang mau membantu departemen kesehatan untuk mengatasi masalah ini. Saya tidak tahu apakah Depkes mempunyai kerja sama yang baik dengan pihak lain, Ikatan Dokter Indonesia misalnya, yang mempunyai jaringan anggota secara luas dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang sangat relevan dengan musibah ini. Atau dengan pihak Tentara Nasional Indonesia yang mempunyai personil yang relatif mudah digerakkan bila ada keperluan yang mendesak.
Rasanya sudah saatnya accountability pemerintahan yang sudah sering kita dengar secara umum diterapkan pada sektor kesehatan. Masyarakat ingin melihat dan sebenarnya dapat dengan mudah menilai sendiri upaya yang dilakukan pemerintah. Pemerintah mendapat amanah dari masyarakat untuk mengelola sumber daya yang dimiliki oleh Republik ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Mudah-mudahan wartawan yang menulis berita yang diungkapkan di awal tulisan ini tadi salah mengutip perkataan dan menulis beritanya. Atau mungkin malah saya yang belum bangun ketika membaca berita tersebut lewat media online pagi tadi. Kalau ternyata berita itu benar dan akurat, mungkin video dagelan Srimulat yang ada di rumah tidak akan saya nyalakan lagi karena kalah lucu dibandingkan dengan berita di koran.
0 Comments:
Post a Comment
<< Home